ia melangkah mengejar senja
merepih marak gelombang suara dengan serakan daun kering di lantai maya
menceraikan batas luka yang legam mempesona
seperti warna senja-senja yang biasa
aku tergugu diam di belantara duka
kepalan jari tak lagi akan terasa
aku harus menghilang
seperti senja-senja yang terlewat
itu saja, rupa nelangsa..
Wednesday, October 24, 2007
Monday, October 22, 2007
catatan rindu
akankah ia berbahagia, jika mengetahui aku yang bahagia? sementara dalam keredupan siluetnya, kutemui sepi yang mendesak jiwa untuk terus selimuti dirinya dengan sunyi. sesaat, aku kembali terpana...
akankah ia masih tetap melayangkan madah doa untukku jika ia tahu ke mana arah langkah akhirnya kutujukan? karena dalam sepi menekuni suara-suara dalam batinnya sendiri, di antara hingar bingar suara teriakan rutinitas yang minta disetubuhi, ia tak lagi ketahui apapun tentangku semenjak panggilanku tak menggerakkan hatinya untuk menjawab, dan pesanku tak menggetarkan jiwanya untuk sedia mendengar..
mungkin jalinan tipis yang sempat tertera di garis langit tak lagi menyambung untuk suarakan getir aku dan dia, mungkin karena itu pula telah tergambar wajah takdir yang baru bahwa aku telah kehilangannya, begitupun dia telah kehilangan aku..
kami hanya bersisa serupa moksa yang pendar di ujung cakrawala. kami hanya pendaran samar cerita-cerita penanda misteri hidup yang terakhiri dengan gontai juluran bunga yang layu masai dihembus angin penuh debu. lalu warna yang biasa melingkupi citra diri kami berdua pun kian hilang tersamar waktu yang kian gulir demikian pesat. semoga ia berbahagia, dalam diam kesendirian yang kini ia peluk sedemikian erat. karena aku menyayanginya, masih dengan kadar yang absurd untuk diterima logika.
kau sudah bosan dengar semua laguku, kutahu. bahkan engkau mulai memilih untuk menyingkirkan aku dari pecahan-pecahan ingat di kepalamu. kau sudah bosan dengan semua tingkahku, kutahu. bahkan kau mulai melerai langkah setapak kecil kita dengan menceraikan aku dari keluasan benakmu agar tak lagi engkau temukan bayangku yang biasa menghantui langkah sendirimu. kau telah memilih untuk bersendiri dalam perenungan panjang. tentang mengapa ini harus terjadi padamu, dan tentang beberapa langkah ke depan yang mesti kau jelang. kau sedang memutuskan untuk meninggalkanku di pinggir jembatan, dengan tidak ingin terganggu walau desir angin semakin mengencang, hujan kian membadai mengayun tujuan, atau serpihan debu terbang melingkar serupa beliung di hadapan. kau tidak lagi mempedulikan semua itu.
yang kau inginkan hanyalah memberaikan semua ini, membiarkan sisa-sisa kenangan berserak tak tergenggam. kau bahkan tidak lagi ingin mendengar suaraku, melihat wajahku, menatap ke mataku, terlebih lagi menyisipi relung hatimu dengan remah-remah sisa rindu. tak lagi kau pedulikan aku. tak lagi kau artikan keberadaanku. tidak lagi ada sepenggal aku dalam dunia kecilmu.
aku?
mungkin aku telah mengubah diri menjadi selaksa moksa yang bertebaran dan hinggap di kanvas sejumlah penjuru. delapan mata angin dan satu pengukir peristiwa bernama waktu. namun aku masih mencintai kenangan tentangmu. mencintainya dengan api yang telah padam dan tak lagi menggebu.
kau?
telahkah kau temukan jalan pulang ke rumahmu? telahkah kau sampai dan pijakkan telapakmu di rumah itu? telahkah jua kau tanam pakis hijau, lily dan bonsai beringin di halaman rumahmu? atau, masihkah akan tersedia satu kaktus di sana?
kau?
masihkah serupa bayang yang menjelma hantu dalam sulaman waktu? masihkah memburu jiwa-jiwa pecinta untuk kauruntuhkan hatinya sekedar berbagi angan denganmu? atau, telah habis lapar itu, terganti dengan kenyang sepanjang waktu dengan segala apa yang telah tercurah untukmu?
ada pohon yang meranggas saat kemarau. ada pohon yang menguning saat hujan. sehelai daun yang gugur dari satu-satunya pohon di taman hatiku, telah terterakan nama panjangmu yang terlepas dari hatiku. daun itu melayang naik ke pikirku. terbang dan mendapati tempat tersendiri di salah satu ruang kosong di sana. aku memilih membiarkannya berdiam di sana. biarlah terus di sana, sampai melayu, mengering, dan menghumus di taman kenangan. mungkin bisa berguna untuk membantuku menghitung jejak antara tangisan dan senyuman. karena nyatanya, bahasa jiwa masih saja tetap sama.
kita?
masih adakah yang tersisa tentang k..i..t..a..?
"kita, ialah kata yang terlambat tercipta, yang mestinya tak terjadi" - [semua yang terlambat-marcell].
miliki saja segala yang tersimpan di ingatmu dalam mengenangku. seperti aku yang memilih berdamai dengan diri sendiri untuk tidak berkeras menyingkirkan semua kenangan tentangmu dari keseluruhanku. langkah kita tak lagi setuju. ingin kita tak lagi sama. memang...mesti begini suratannya.
~well, mau segelas cappucinno?~
akankah ia masih tetap melayangkan madah doa untukku jika ia tahu ke mana arah langkah akhirnya kutujukan? karena dalam sepi menekuni suara-suara dalam batinnya sendiri, di antara hingar bingar suara teriakan rutinitas yang minta disetubuhi, ia tak lagi ketahui apapun tentangku semenjak panggilanku tak menggerakkan hatinya untuk menjawab, dan pesanku tak menggetarkan jiwanya untuk sedia mendengar..
mungkin jalinan tipis yang sempat tertera di garis langit tak lagi menyambung untuk suarakan getir aku dan dia, mungkin karena itu pula telah tergambar wajah takdir yang baru bahwa aku telah kehilangannya, begitupun dia telah kehilangan aku..
kami hanya bersisa serupa moksa yang pendar di ujung cakrawala. kami hanya pendaran samar cerita-cerita penanda misteri hidup yang terakhiri dengan gontai juluran bunga yang layu masai dihembus angin penuh debu. lalu warna yang biasa melingkupi citra diri kami berdua pun kian hilang tersamar waktu yang kian gulir demikian pesat. semoga ia berbahagia, dalam diam kesendirian yang kini ia peluk sedemikian erat. karena aku menyayanginya, masih dengan kadar yang absurd untuk diterima logika.
kau sudah bosan dengar semua laguku, kutahu. bahkan engkau mulai memilih untuk menyingkirkan aku dari pecahan-pecahan ingat di kepalamu. kau sudah bosan dengan semua tingkahku, kutahu. bahkan kau mulai melerai langkah setapak kecil kita dengan menceraikan aku dari keluasan benakmu agar tak lagi engkau temukan bayangku yang biasa menghantui langkah sendirimu. kau telah memilih untuk bersendiri dalam perenungan panjang. tentang mengapa ini harus terjadi padamu, dan tentang beberapa langkah ke depan yang mesti kau jelang. kau sedang memutuskan untuk meninggalkanku di pinggir jembatan, dengan tidak ingin terganggu walau desir angin semakin mengencang, hujan kian membadai mengayun tujuan, atau serpihan debu terbang melingkar serupa beliung di hadapan. kau tidak lagi mempedulikan semua itu.
yang kau inginkan hanyalah memberaikan semua ini, membiarkan sisa-sisa kenangan berserak tak tergenggam. kau bahkan tidak lagi ingin mendengar suaraku, melihat wajahku, menatap ke mataku, terlebih lagi menyisipi relung hatimu dengan remah-remah sisa rindu. tak lagi kau pedulikan aku. tak lagi kau artikan keberadaanku. tidak lagi ada sepenggal aku dalam dunia kecilmu.
aku?
mungkin aku telah mengubah diri menjadi selaksa moksa yang bertebaran dan hinggap di kanvas sejumlah penjuru. delapan mata angin dan satu pengukir peristiwa bernama waktu. namun aku masih mencintai kenangan tentangmu. mencintainya dengan api yang telah padam dan tak lagi menggebu.
kau?
telahkah kau temukan jalan pulang ke rumahmu? telahkah kau sampai dan pijakkan telapakmu di rumah itu? telahkah jua kau tanam pakis hijau, lily dan bonsai beringin di halaman rumahmu? atau, masihkah akan tersedia satu kaktus di sana?
kau?
masihkah serupa bayang yang menjelma hantu dalam sulaman waktu? masihkah memburu jiwa-jiwa pecinta untuk kauruntuhkan hatinya sekedar berbagi angan denganmu? atau, telah habis lapar itu, terganti dengan kenyang sepanjang waktu dengan segala apa yang telah tercurah untukmu?
ada pohon yang meranggas saat kemarau. ada pohon yang menguning saat hujan. sehelai daun yang gugur dari satu-satunya pohon di taman hatiku, telah terterakan nama panjangmu yang terlepas dari hatiku. daun itu melayang naik ke pikirku. terbang dan mendapati tempat tersendiri di salah satu ruang kosong di sana. aku memilih membiarkannya berdiam di sana. biarlah terus di sana, sampai melayu, mengering, dan menghumus di taman kenangan. mungkin bisa berguna untuk membantuku menghitung jejak antara tangisan dan senyuman. karena nyatanya, bahasa jiwa masih saja tetap sama.
kita?
masih adakah yang tersisa tentang k..i..t..a..?
"kita, ialah kata yang terlambat tercipta, yang mestinya tak terjadi" - [semua yang terlambat-marcell].
miliki saja segala yang tersimpan di ingatmu dalam mengenangku. seperti aku yang memilih berdamai dengan diri sendiri untuk tidak berkeras menyingkirkan semua kenangan tentangmu dari keseluruhanku. langkah kita tak lagi setuju. ingin kita tak lagi sama. memang...mesti begini suratannya.
~well, mau segelas cappucinno?~
masih adakah?
adakah keteguhan hati masih mampu membawa telapakmu berdiri
di tengah lembah-lembah berkerikil serupa jarum diantara jerami?
adakah diammu kali ini berarti mundur dari kepapaan jiwaku,
yang masih berharap bahagiamu kini juga nanti?
adakah maaf untukku masih tersisa di salah satu celah hatimu,
yang pernah kubelah dan titipkan satu keping teristimewa di sana untuk tetap kau simpan sampai akhir waktumu?
adakah..kamu bersedia memahami bahwa langkahku yang kini kian jauh darimu,
bukanlah penanda bahwa aku mulai melupakan wadagmu?
adakah..masih..sepenggal..aku..tersimpan..di..keutuhan..mu?
Subscribe to:
Posts (Atom)