Sepercik Api
********************************************
Dengan penuh syukur
Untuk semua kebaikan yang telah dirasa,
Untuk segala cinta dan kasih sayang yang pernah diterima
Untuk karunia hidup dalam gelap dan terang,
Untuk masa-masa bahagia dan nestapa,
Untuk seperampat abad yang telah terlalui,
Inilah persembahan kecil untuk semua jiwa merdeka..
Atas nama kejujuran, inilah secuil potongan perjalanan..
- efra a. -
********************************************
Sepercik Api
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
- Daftar Isi -
Sepercik api ~ 1
Daftar isi ~ 2
Bagian pertama : Monolog hati ~ 6
Hilang ~ 7
Tunggu aku ~ 8
Menunggu ~ 9
Diakah? ~ 10
Ajari aku bermimpi ~ 11
Petikan terindah yang menanti pagi ~ 12
Adakah adil buatku? ~ 13
Catatan malam ~ 14
Dekap kecintaan ~ 15
Bahasa lindap ~ 16
Di atas permadani kesejatian ~ 17
Menuju ridho-Nya ~ 18
Elegi (dua) ~ 19
Penantian di gerbang malam yang senja ~ 20
Ketika kau datang ~ 21
Pundi-pundi kesejatian ~ 22
Malam ~ 23
Di bawah beringin suatu padang ~ 24
Perenungan ~ 25
Silence ~ 27
Sahabat dan cinta ~ 28
Kabut-kabut kelabu ~ 29
Elegi (satu) ~ 30
Selimut kabut kecintaan ~ 31
Elegi (tiga) ~ 33
Lelah yang semu ~ 36
Warna senja ~ 37
Sepenggal rindu ~ 39
Bersendiri ~ 40
Lantunan rindu ~ 41
Bagian Kedua: Pecahan hati ~ 42
Cercahan rindu bidadari ~ 43
Cinta ~ 44
Enyahlah.. ~ 45
Inikah? ~ 46
Kau.. ~ 47
Belati kenangan ~ 48
Jiwa ~ 49
Hanya dia ~ 50
Beraja ~ 51
Hilang tak kembali ~ 52
Tanyaku ~ 53
Kidung ~ 54
Puing-puing luka ~ 55
Bukan ~ 56
EnyahLAH! ~ 57
Melepas kecintaan ~ 58
Bila (telah) tiba saatnya ~ 59
Seketika ~ 60
Dalam kabut ~ 61
Setelah daun terakhir melayang bebas ~ 62
Momentum paranoia ~ 63
Resah ~ 64
Nelangsa ~ 66
Tak bersisa ~ 67
Berai ~ 68
Bagian Ketiga: Pelangi hati ~ 69
Cahaya ~ 70
Kian menjadi ~ 71
Seperti cinta ~ 72
Malam ~ 73
Kemelut jiwa ~ 74
Ajari aku ~ 75
Diam ~ 76
Tentang aku ~ 77
Di penghujung senja yang basah ~ 78
Masihkah? ~ 79
… … … ~ 80
Kamu.. teristimewa ~ 81
Kesunyian di sorot mata ~ 82
Semoga ~ 83
Berlembar kenangan di laut ragu ~ 84
Kau lihat? ~ 85
Ruang biru ~ 86
Lagi ~ 87
Satu yang tak berubah ~ 88
Bagian keempat: Mutiara hidup ~ 89
Mentari jiwa ~ 90
Untuk sahabat jiwa ~ 91
Pengembaraan semesta teristimewa ~ 92
Seorang pelarian dengan bungkusan kenang ~ 93
Kisah penjaga gerbang kuasa ~ 94
Catatan waktu luang ~ 95
Lembaran-lembaran puisi ~ 96
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
- Monolog Hati -
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Hilang
Akar-akar melayu di persimpangan,
sementara satu perahu mulai menarik sauh berlayar lalui lautan lepas,
menjauhi dermaga.
Lalu sesosok jiwa menjerat untaian mutiara dalam karam samudera, berusaha mengerti arti jawabanNya.
Kemudian sang hari berlalu dan waktu membaca ruang-ruang kosong dengan layangan bahasa udara.
Rantai kegamangan hadir memikat pekat,
Ikatan mengajak melepas segala kepemilikan.
Satu-satu mulai terlepas jatuh ke laut dan tenggelam ke dasar.
Sementara seketika mentari mulai menggelincir turun sedemikian pesat,
membuat garis tudung langit tak lagi nampak.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Diakah?
Diakah beraja yang diutus langit untuk telanjangi seluruh keakuanku?
Diakah semesta yang tudungkan kelambu maya dari badai di kotaku?
Diakah penawan hati yang semukan bias merah jambu di kedalaman relungku?
Diakah penebar lara yang kuatkan pertahananku untuk terpatri menunggu dan menunggu?
Diakah satu-satunya penawar rindu?
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
“Ajarkan Aku Bermimpi”
Ada jaring laba-laba yang seketika memerangkap keseluruhan keakuan.
Ada runutan yang menjadi jalan lurus menuju angan dan harapan.
“ajarkan aku bermimpi”, ujarnya.
‘sehalus dan seindah titian langkah menuju ridhoNya, semoga.’
Kini aku mendongak berserah sambil memaparkan satu doa dalam tanya terpelihara.
“bisakah kita pijakkan langkah-langkah mungil setapak kita menuju surgaNya?”
Rupanya kecintaan kadang mengalahkan keakuan jiwa dan miliki nyawanya sendiri untuk memilih tambatan jiwa.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Petikan Terindah yang Menanti Pagi
Untukmu telah kusematkan kembang jingga ‘tuk hilangkan berkas gelap yang jelas menyata bekasnya di langkah sejarahmu, sekedar penawar renjana akan mawar berduri tercinta yang tak jua mampu kau petik karena tusukan durinya belum kering menutup.
Sekian kilasan peristiwa dan kenangan berhamburan di ruang kenangmu, memetakan euphoria cinta pada malam-malam magis penuh keindahan yang kau ukir bersamanya, mawar tercinta. Sekian kata-kata telah berusaha mewakili apa yang pernah dan telah mengada, namun belum jua dapat menggambarkan cinta terlampau penuh yang kau hadirkan untuknya.
“Cinta, satu-satunya yang masih bernyawa”, kiasan inilah yang sangat ingin kau persembahkan untuknya. Sepotong kalimat pendek atas jejak-jejak malam yang menyapa mesra dan penuh gelimang romansa. Sepenggal yang berusaha mewakili rasa.
Telah kau jalani setapak baru di negeri yang hanya terpeta di luas langit. Sekedar singgah memetik lily sebagai pengganti mawar yang melukai. Putih, bersih.. tanpa ekspresi. Anehnya, hatimu terlalu rumit untuk kesederhanaan setangkai lily. Kau tetap inginkan mawar berduri yang belum dapat kau petik. Kau kerap mengkhayalkan dapat memetiknya, menciumi wangi anyir darah, memeluk kerapuhan kelopaknya dan menyimpannya terus walau telah layu dan mengering. Kau tak peduli berapa lama ia akan bertahan menghiasi meja kerjamu yang lusuh, hanyakah akan sekejap atau selamanya. Kau pula berangan-angan akan wanginya yang semerbak namun sisakan sesak. Wangi yang khas sebagai penanda keindahan akan cantiknya jiwa yang menyakitkan. Wangi itu terus menerus tercium walau telah mengering. Menyata bagai psikosis berkelanjutan.
Lalu lily putih menjadi tidak berharga lagi. indahnya sirna tanpa sisa apa-apa. Kau hanya ingat ia pernah menemanimu sebagai penghias meja kerja beberapa saat dengan ketegaran kesabaran sekaligus keangkuhannya dan menjadi tak berarti ketika ternyata hadirnya mulai mengotori meja dan karena itu pula kau membuangnya ke luar jendela.
Di saat yang berbeda, jauh setelah kau memutuskan untuk melupakan inginmu memetik mawar berduri, kau mulai merasa tiada mencintainya begitu membara seperti sebelumnya. Waktu telah menggelindingkan bola hidup sedemikian pesat.
Begitu banyak kereta kesenangan dan kedukaan datang pergi dan kembali datang lagi. kau bahkan belum sempat menandai malam dengan sapaan mesra padahal ia menawarkan indahnya potongan romansa. Belum juga sempat menyapa langit padahal bulan dan bintang berkali-kali singgah dan tersenyum. Kau lebih memilih berangkat pagi menjinjitkan kaki dan melumatkan diri di bawah terik rekahan cahaya surya, pulang kembali saat gelap menyelimuti dengan gigil beku yang riskan bagi nyawa. Atas nama usaha, kau lupakan semerbak ranum mawar dan terlupa akan indahnya taman mawar hati.
Namun, malam ini kau kembali teringat pada monumen cinta yang pernah kau bangun di bawah cahaya rembulan. Prasasti mimpi yang tanpa sadar tetap kau pelihara di sudut terdalam jiwa. Tentang mawar berduri dan seluruh keesaannya. Kau tahu mawar itu yang paling sempurna dengan semua hal paling tidak sempurna dari mawar lainnya. Kau menginginkan mawar itu, bahkan di saat kau pikir kau telah melupakannya.
Kau ingat bahwa mawar itu yang mengajarimu mencintai malam dan sepinya, yang menuntunmu temukan gelap agar mengenali arti cahaya, yang juga mengujimu bertahan menghadapi dan menikmati luka-luka.
Kau pun ingat, kau telah mengubah diri menjadi cinta yang bebal, yang inginkan kebersamaan bukan sesaat, yang inginkan pengakuan sebagai bukti keberadaan dan kebermaknaan.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Adakah Adil Buatku?
jalan ini menuju ladang duka. melintasi ribuan kerikil. menghindari karang kering. melawan arus badai. berujung ketidakpastian. langkah-langkah yang terus bersampiran. langkah yang hampir tiba di satu jurang terjal yang memisahkan lintasan.
kau berhenti di sana...
di ujung batu menatap ujung batu lain di seberang jurang. Tampak sesosok kemilau berdiri di antara gelap di sana. dia menatap. terus menatap dan mematung. Ia menunggumu. Menunggumu sampai batas waktu yang terjanjikan.kau harus sampai ke ladang duka itu dengan melewati jurang tak berdasar. mampukah kau buat jembatan 'tuk menyebranginya? atau kau perlukan rajawali raksasa singgah dan mencapitmu dengan cengkramnya untuk antarkan kau ke seberang sana?
sementara langit sedang meringis gersang, dan udara panas membakar. kau terdiam, dibuai gelombang pengap dan nelangsa.
"adakah adil buatku?"
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Catatan Malam
Bukankah telah terpeta prasasti mimpi dan monumen cinta sang penjunjung semesta raya?
Ketidakpedulian itu hanya akan merenggut nyawa dari daksa
Buyarkan ketulusan menjadi buih-buih busa yang ‘kan hilang terlarut angin
Maka biarkan langit yang buratkan cahayanya bagi hati pecinta
Biarkan semesta yang lindungi rasa yang ada
Lihat dulu pendar langit malam ini, jiwa
Di sana tergantung bulan yang menutup diri dengan rahasia-rahasia
Di sana aku pernah melayangkan cerita tentang segala rasa
Maka jika nanti belum dapat kau temui aku di antara batas-batas aksara
Temuilah bulan itu dan sampaikan padanya segala rasa
Karena aku masih percaya, bulan itu ‘kan sampaikan rahasia-rahasia rasa
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Dekap Kecintaan
Sejenak aku membaca peta. Lingkar-lingkar yang ditandai warna merah dan biru. Beberapa tempat sejarah berserakan di selembar kertas. Petak-petak tanah yang terbakar dan longsor. Bermil-mil jarak yang jadi penghubung setiap kisah. Di dalamnya juga tergambar wajahnya yang lembut. Tanpa senyum, dengan sorot mata seteduh embun. Sebaris bibir tipis mengatup. Segaris kerut di dahi, menandai kerasnya ia menelaah hitam putih roda waktu.
Di antara sudut-sudut kota yang tergambar jelas tanpa bayangan skala, aku melihat darah di mana-mana. Peluh dan nanah. Wangi mawar tiba-tiba menyengat, membelenggu saraf-saraf otak untuk mencerna darimana asal muasal wangi ini. Memblokade hasrat ‘tuk menerawang lebih jauh sekedar menikmati setiap sesak yang memilukan dada. Bercak-bercak darah disertai remah-remah kering kelopak bunga tujuh rupa. Mengarah ke pantai, ke laut, menyatukan garis horizontal nyaris tak nampak dengan langit.
Sekelebat bayang sosoknya terbang melesat melewati pandangan. Hitam membara. Berapi. Berkobar-kobar tanpa kesakitan. Seolah api itu justru berasal dari tubuhnya sendiri. Panaspun tersisa di ruang ini. Pengap. Berasap.
Sekali lagi bayang sosoknya melangkah mendekat ke arahku. Menatap mataku yang limbung kebingungan diperdaya angin berputar mengelilingiku.
Rupanya darah itu bercucuran dari jantungnya. Luapannya membanjir karena kepanasan dan membludak dalam didih. Kami berpelukan terbang mengarah ke laut.
Laut. Perantara sempurna atas kemegahan bumi dan langit. Tak lama lagi melebur berpencar dan jadi serpihan debu yang melayang ke lapisan mezosfer.
Aku menatap langit. Memetakan sekian gemintang yang bergantian memberi pendar cahaya indah bagai simbol-simbol kesetiaan alam pada Tuhan. Aku pun takkan kehilangan pendar. Justru aku yang tampak teramat cerlang. Ada dia di sampingku, begitu dekat denganku. Melekat bagai bayi kembar dempet. Hanya Dia keEsaan Maha Purna yang bisa melerai kedekatan nantinya. Saat di mana gunung dibalikkan, air laut ditumpahkan, dan gravitasi bumi ditiadakan. Saat semuanya berterbangan menghias sekaligus mencemari langit. Saat semua nyawa dikumpulkan di padang masyar.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Bahasa Lindap
wajah-wajah patah berhias topeng tawa semu di sekitar masa.
aku menemukan kekosongan yang getir untuk dirabarasa.
tawa getir yang pahit tersungkal-sungkal.
bahwa setiap jengkal tanah adalah bahasa musim gugur.
hampa menyelimut.
hening dan padam.
bagai tangan dingin melingkari pinggang, serta merta memacu gairah.
tenggelam dalam kabut mematikan.
hawa mistisnya mencerabut makna kehidupan.
singkat tanpa sisa cela.
aku telah berhenti di persimpangan, menghentikan taksi, mematikan lentera, dan membakar buku sejarah.
berlama-lama tak kembali ke meja kerja.
menikmati resapan tangan semesta seakan jiwa terpisah dari daksa.
dalam hati telah tertutur semua bahasa.
bahasa kabut. bahasa luka. bahasa perpisahan. bahasa kehidupan dan kematian. bahasa pekat. bahasa tangis dantawa. bahasa bisu. bahasa cinta. bahasa rindu. bahasa setia. bahasa pencerahan. bahasa bahagia. bahasa diam.bahasa kesunyian. bahasa kedatangan. bahasa kepergian. bahasa keikhlasan. juga bahasa kesejatian.
masihkah pikiran ini mengikatkan kita pada satu tudung kelambu yang menjadi atap lelah lelap kita di dalam rumah cinta tujuan hidup?
akankah tercukupkan semua itu dengan bayaran satu rangkulan mesra dan seuntai bisik kejujuran?
masihkah embun menjadi pelepas dahaga ketika kita menjadi tiada dengan tiba-tiba?
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Di Atas Permadani Kesejatian
satu peta tergelar di permadani kesejatian
memapar garis-garis tegas para jiwa yang datang dan pergi
singgah dan berlari
lenyap di ujung senja
angin kencang membuka halaman-halaman maya buku sejarah
memberi kisah asal muasal ksatria bercahaya
memanjangkan ruang kenang
memaku pikir pada kecintaan
kelebat sosok lewat di hadapan malam
berlari sambil menari ikuti alunan dawai sang bintang
tertawa terbahak hembuskan asap ke kening penyair
hingga larut, kelam menyambut dan hanyut
serupa kekupu dan kunang melintas pelan diantara dedaunan
sigap mengurai pecah kepenatan dengan warna sinar berbinar
bayang lelaki api lesap ditelan rembulan
sisakan gerimis kecil dan rintik di atap rumah keabadian
perempuan alang masih juga duduk membatin dan menunggu
berteman manik-manik hiasan pilu juga ragu
mencoba menguntai rantai mutiara kalbu sambil memintal benang harap
melayangkan doa dan mengucap mantera-mantera penguat hati
berdalih terus sibuk menikmati getir bersendiri
sambil terus duduk di tepi dekat perapian pinggir rumah dermaga
di depan peta yang tergelar di atas permadani keabadian..
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Menuju RidhoNya
Tertahan satu renung panjang yang menyajikan kilasan-kilasan ingin akan kerinduan tak terejawantah. Terbendung begitu cepat hingga sanggup membentuk palung kian dalam di sanubari batin. Ribuan warna pesona sedang membantu degup jantung untuk bekerja memompa udara menyetubuhi hidup. Ribuan suara kidungkan jutaan kata yang mengajak masuk hening dan mengulurkan tangan mengajak segenap jiwa untuk sejenak duduk bersila dan bertapa.
Serbuan nada dalam udara, nyanyian detak di jalur nadi, hentakkan degup dalam dada, serta hujaman warna cahaya membawa suasana magis mengental di sekitar.
Perputaran roda mulai tergelincir kembali. Gerbang dibukakan. Permadani alam berupa gunung, laut, tanah, rumput, ilalang, dan mahluk turut serta menggelar sajian mimpi indah penuh harap. Sertakan nafas di sela setiap alunan tasbih alam. Sertakan keberserahan dalam lantunan dzikir. Sertakan pikir tak terbaca dalam setiap rintihan madah doa.
Seketika aku berjalan menuju gurun luas dengan mantel selaput ungu pinjaman semesta mimpi. Di sini, kutemui arti perjalanan yang terlalui selama ini. Tentang wajah-wajah jiwa yang berceloteh tentang duri hidup berlinangan airmata kesucian, tentang jiwa-jiwa yang terkapar kehausan akan rengkuhan hangat para kekasih, tentang jiwa-jiwa yang menanti keluar dari gelimang pengap dan terowongan pekat. lalu sang durjana beranjak pergi diam-diam menyelinap bagai hantu ketakutan lantunan ayat suci. Pergi melayang tanpa keberanian memijakkan aral kembali.
Inikah sesuatu yang dinamakan Keridhoan?
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Pundi-pundi Kesejatian
Aku lebur bersatu asap dan debu yang terurai dalam partikel udara
Lesap menghindari ingat akan jejak-jejak asmara yang terlanjur membatu
Hinggap lesap di setiap titik lelap, mencari bayang sosok keindahan yang diciptaNya
Karena ada yang tak jua pudar
Seraya menanti tanpa pasti, jiwa terus pergi menyelinap memasuki pundi-pundi harapan
Pundi-pundi berisi air yang mulai setengah kosong
Pundi-pundi berisi pompaan darah penyilap kesadaran batin
Sang surya belum juga tiba
Adalah ia yang mulai lupa akan janji
Atau mungkin tengah terjadi sesuatu di langit,
Yang menumbuk semestaku semestanya menjadi keping-keping kehancuran
Rabbi, sedang menulis apakah gerangan Engkau di secarik lembar takdirku hari ini?
Adakah di setumpuk lembar-lembar kisahku nanti masih tertera satu nama sebagai penjawab tanya hati?
~~~~~ ### ~~~~~
-Pelataran parkir, 3 Okt’ 06-
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Penantian di Gerbang Malam yang Senja
Seperti sedang dilepaskan. Satu per satu jalinan indah mulai pergi beranjak dan mulai menjatuhkan bulir mati. Seperti terhempas. Melayang tanpa nama apalagi arti di keluasan warna-warni langit dan bumi. Seperti hilang tanpa arti. Beringsut melemah sambil teriakan nama-nama dalam batin untuk singgah sejenak menyapa dan memberi belai sayang meninabobokan. Melelahkan. Menjadi perempuan penjaga hati dan rahasia-rahasia kenyataan yang geraknya berkelindan di sekitar. Melemahkan. Ketika kalimat-kalimat yang tersusun hanyalah tentang ranumnya tutur bahagia pencermin batin para kekasih yang tidak menurutkan keterlibatan pecinta di dalamnya. Sungguh hati ini melayu dan sekarat hampir mati. Rinding getar menahan sesak di kedalaman masih juga menyerang seluruh keakuan. Apalah arti dari keberadaan jika semua tak lagi menyisakan sedikit bulir bahagia yang padukan isi kepala dan kedalaman rasa. Kedalaman rasa.. hanyalah keengganan yang begitu terlalu lama beranak pinak dalam keakuan. Keengganan yang berkelindan memacu jantung hingga nafas terasa begitu berat dan sesak. Mengapa tidak tersayat saja isinya hingga meledaklah segala yang terpompa kian guruh di dalamnya. Mengapa tak mengkristal saja deraan kipas paru agar udara tak lagi masuk merasuki nyawa dan hilangkan sadar seketika. Masih tergugu dalam kerapuhan tanpa hadirnya wajah tercinta di sandingan. Masih memejam memendam perih ketika mata terbuka masih harus hadapi kenyataan pahit yang mengalun seperti lagu-lagu patah hati. Kehilangan ketenangan, berteman kegelisahan dan kegamangan berkelanjutan. Sepi.
Air di kendiku benar-benar sudah habis. Tetes terakhir telah kucicip teguk kemarin saat mencoba bertahan di tengah malam buta kehausan jutaan aksara yang nyata. Padahal perjalanan masih sekian jauh, masih harus melewati beberapa gurun untuk tiba di kaki langit. Siapa lagi yang bisa kupercayai sebagai gantungan hati? Nelangsa. Langit menangis basahi tubuh yang mulai belajar menari cicipi rasa hujan. Langit memerah dan bumbungkan kabut senja tak padam-padam. Malam berlangit senja. Begitu senja. Tarikan nafas pun serasa meracuni. Haruskah kulepas juga segala atribut kesucian ini dan menenggelamkan diri dalam telaga dingin air payau untuk lenyapkan seluruh kehadiran? Untuk tarikan nafas yang teramat sesak dan pendek-pendek terhela berat, untuk pandir-pandir kecewa atas segala ingin yang tak bisa terjadi, untuk kehilangan makna diri di tengah padatnya kalimat jiwa, untuk segalanya. Akankah jiwa masih mampu bertegar hadapi pemberat hati yang semakin lama semakin bertambah-tambah? Akankah jiwa masih sempat temukan embun di pengujung suatu pagi sebagai pengganti air kendi yang menguap kepanasan? Akankah ada kata maaf karena telah berkali-kali meninggalkan? Masihkah sepotong jiwa akan kelaparan menagih janji untuk bertahan menanti sampai waktu yang tak pernah bisa tertentukan? Masihkah nanti jiwa terpilih untuk bersandingan akhiri sendiri? Atau tak pernah akan ada lagi dan berhenti di titik buntu tanpa gelintir kata jujur di hati? Sungguh, malam menjelma terlalu senja. Begitu senja!
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Ketika Kau Datang
Aku teringat kenangan
Tentang masa lalu
Tentang aku dan kamu
Tentang denting pelan gitar pengiring sendaan kita
Tentang pohon rindu ketika kita panjat berdua
Sampai kudengar kauberbisik pada malam
“Aku melemah ketika kau pergi,
Tapi aku lebih melemah ketika kau datang
Membawa sekarung serpihan tajam,
Bernama kenangan.”
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Selimut Kabut Kecintaan
Aku benci dikelabui langit.
Nampak indah namun tetap selipkan misteri pilu.
Keluasannya menggodaku ‘tuk terbang,
Tapi juga geleparkan jiwa terlena mimpi.
Aku benci mengaku bahwa aku diselimuti kabut kecintaan.
Karena nanti..
Wanginya pasti hilang sisakan anyir busuk menyengat.
Bukankah aku punyai sayap yang belum mati?
February, 2006
>>>>> <<<<<
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Malam
Aku duduk di pinggiran sisa kenangan yang sejenak membungkam segenap asa jiwaku. Tak lagi bergejolak membadai, namun tetap ada getar-getar gemuruh yang sepoi merasuki keseluruhan. Aku dapatkan kembali helaan nafas. Aku rengkuh kembali inspirasi. Seperti sedang mencoba melukis wajah baru, aku bersedia bersendiri di suatu kesunyian tempat. Memutar ingat, tentang sudut-sudut ruang yang kentara menyimpan jejak peristiwa. Merasai kembali keluasan. Senyawa jiwa yang berdesir melingkupi batin yang terkadang.. menyisakan keraguan. Ada rindu membelesak, merasuk masuk menghimpit dada dengan keindahannya yang hampir purna. Rindu pada bayang-bayang bahagia yang masih kunanti akan menghampiri.
Malam memang teman sejati menikmati diam bersendiri dan melagutkan ciuman hangat pada serangkai bunga kata yang hadir begitu sederhana. Malam memang ladang imagi yang menunggu untuk kupanen dengan keranjang niatan menulis. Menikmati kesendirian dengan senyap yang sungguh mempesona. Menikmati khayal dan angan untuk bercinta dengan imaji sendiri, adalah keinginan memuncak yang menunggu untuk diperanak-pinak. Betapa aku merasa beruntung atas kesempatan ini, bersendiri dan menikmatinya.
Tiba-tiba aku teringat pada bayangan perempuan yang tertawa tertahan sambil bicara pelan. Matanya berkerjap-kerjap. Gerak tubuhnya lembut bagai gemulai tarian versi gerak lambat. Ia duduk di bangku kayu teras rumah, bergayut pada angan-angan. Di kedalamannya menyimpan semua kepelikan perihal hidup dan kadang masih menanti seorang ksatria datang menyelamatkannya dari hantu gelap kenangan.
Ia menyimpan potret hidup lelaki badai di keseluruhan hidupnya. Bukan untuk bermaksud mendewakan, hanya untuk mengingatkannya pada lelaki itu. Setiap lagu lama telah mengalun berdendang menemaninya semalaman. Lalu ia terbang.. berkepak mengudara membawa semua rangkaian kenangan. Buku tentang cinta telah terbakar. Abunya telah hilang melayang. Sisanya hanya titik-titik debu yang manis di lidah dan pahit di ingatan.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Di Bawah Beringin Suatu Padang
Satu ingat mengantarku pada suatu rindang beringin yang pernah sekali menjadi tempat berteduh dari nyalang sinar sesiang. Di sana, tergores sepasang nama dari tanganku sendiri, demi menjejal hasrat untuk bersanding di satu sisi belahan hidup bersama pendar kunang yang kerap kali memanggil mata dan jiwaku untuk terus mencinta dan menatapnya lekat.. Kenyataan telah mengantarku melangkah sejauh ini. Berlari dan terus berlari dari sekian kegundahan dan keengganan menghadapi kenyataan yang begitu pahit menggelinjang di dasar kesadaran. Pada suatu pasar malam aku pernah berhenti dan menikmati pesta cahaya lampu dan hiruk pikuk suara malam. Bising yang meriah dengan sendaan tawa tanpa akhir, punggung-punggung terbuka yang kesepian dan wajah-wajah bertopeng keindahan dunia.
Kakiku membelah tanah sedemikian lekas hingga berpijak di bawah rerindang. Tanah dengan rerumputan beraroma segar karena terpangkas, tanah dengan cacing-cacing tanah yang giat menggeliat menggemburkan rumah, tanah yang hangat disiram hujan sinar matahari. Di sanalah aku, duduk bersandar pada satu-satunya beringin yang tegak berdiri di tengah sorotan cahaya. Aku menemukan keteduhan yang menyejukkan, sedemikian teduh hingga menghadapkanku pada rasa lelah berkepanjangan dan membawaku terbang dalam lelap. Sepoi angin mengantar ingin untuk merangkak, berdiri, berjalan dan berlari lalui jalan-jalan mimpi dalam terawangan siang akan ranum wangi alam, lalu jatuh terlelap kepayahan. Hingga kuterbangun membelalak karena mentari telah kembali sembunyi meninggalkanku dalam suara malam yang kian menakutkan karena bayang kesendirian menghadapi kesepian.
Aku kehilangan kepercayaan pada kecintaan. Tapi malam itu seekor kupu datang nyalang menatap sorot mataku yang buram terhalang kabut.. Ia mengabarkan bahwa kunang akan jua pergi, dan ia nelangsa karena kehilangan. Ia katakan bahwa negeri bidadari telah mengeliminasi sekian kunang dan kupu-kupu untuk dijadikan ksatria sang dewi, sedangkan lainnya akan disingkirkan. Ia menangis getir hingga perlahan lapisan sayapnya mulai rontok dan mengering layu. Ia yang banyak mengalahkan malam dengan riang kerlip cahaya telah lebur bersama alam dan jatuh ke tanah. Hancur menjadi serpihan serbuk tipis yang melayang ke langit.
Malam itu adalah malam berduka, maka aku menunggu pagi untuk pergi meninggalkan kedukaan dengan sinar baru di pelupuk timur, kuharap itu akan menentramkan batin kembali. Namun hingga pagi datang belum jua kurasakan keredaan dari duka semalam. Maka siang itu aku pergi lagi, berlari lagi, berlari dan terus berlari.
Kini sudah lewat sekian musim dari melodrama malam itu. Musim dingin sebentar lagi tiba. Beringin telah meranggas, menjatuhkan helai demi helai dedaun gugur menghumus di tanah. Tak lagi singgah merpati untuk bertengger dan membuat sarang. Tak ada lagi kawanan serangga sekedar berbagi keteduhan dan mengais sisa remah kehidupan. Beringin ini telah ditinggalkan, diam kaku dalam kesendirian, menanti suatu waktu ujung-ujung pucuknya kembali berdaun segar dan muda. Tak ada ranting yang terus saling bersambungan sampai akhir masa. Tak pernah ada dahan yang selalu bergandengan erat sampai ujung kematian. Maka beristirahatlah dengan tenang hingga waktu menentukan pelabuhan pengantar nafas terakhir kan berubah hembusan beku.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Perenungan
Pernah kukatakan pada angin bahwa dalam kegelisahan asa sebesar apapun, aku akan bersedia menanti. Maka di sinilah aku, duduk di stasiun menanti keretamu singgah dan pergi lagi sekedar untuk datang menyapa batin dan mengerti alasan terbesarku tak beranjak pergi hingga kini.
Langkah-langkah mereka telah begitu jauh terlampaui, begitupun denganmu, bahkan hampir kentara begitu pegal batinku mencoba meraih-raih kehadiranmu kembali di ruang hati. Walau tetap tiada.
Angin begitu lembut menyapu muka. Sertakan damai buatku nikmati duduk di tepi rel berteman berpuluh orang lain dengan ingin dan niatan berbeda. Adakah jiwamu ‘kan berpulang padaku? Adakah aku menjelma gambaran rumah batin bagi keseluruhanmu?
Apakah kau bisa melihat ini semua? Baik akan kuceritakan padamu apa yang kusaksikan. Anak-anak pengembara berlarian susuri rel bertelanjang kaki. Berbondong saling bagi sendaan dan berdorongan mengejar pancar sinar matahari. Tak semua bisa berlari, sepasang dari kelompok yang tertinggal tertatih lelah tersungkur jatuh dari kerikil panas atas rel. dengan muka memerah dan peluh keringat membanjir kuyupkan sekujur tubuh, ia menangis menahan sakit dan perih. Sakit karena tersungkur, perih karena terluka. Lalu ada sedih.. tak keruan membias tegas di nuansa auranya, karena ditinggalkan orang-orang yang biasa ada bersamanya. Mereka merangkak pelan sedikit mendekat ke arahku. Berusaha bersandar di tepi bangku, dan kudengar percakapan itu…
“Jangan menangis lagi, sayang. Sudah biasa begini bukan?”
“Aku letih Kak Haus.”
“Tadi bukankah kita telah makan dan minum?”
“Aku lapar untuk melihat lebih banyak gerbong kereta penjemput para pengembara menuju dunia nyata. Aku haus akan kasih sayang alam semesta pada penjaga-penjaganya agar tak lagi terjadi gemparnya sekian bencana.”
“Oh, kita sungguh tidak mengetahui apapun selain mengadakan pengrusakan padanya, adikku.”
“Aku sangat letih Kak. Rasanya aku tak sanggup lagi untuk terus berlari.”
“Kita bisa berhenti sejenak di sini, tak apa-apa. Mari mendongakkan muka. Kita tanyakan pada langit apa yang sedang tertulis pada takdir kita hari ini. Lalu mari kita tundukkan wajah kita, pasrah berserah pada apapun yang tertera di sana. Nanti, suatu hari, ketika kita telah selesai dari penghentian sementara ini dan kembali cukup kuat untuk terus berlari, mungkin kita akan sampai suatu pantai di mana damai akan datang mengantarkan nyanyian beku angin malam kepada kita, di mana matahari yang bersinar terik tak terasa menghanguskan, dan salju yang dingin tak terasa membekukan. Di mana malam tak lagi menjadi hantu penasaran yang mengintai setiap jejak langkah kita seolah kita telah mencuri suatu pesona darinya, dan tak lagi mampu mengalahkan nyaringnya suara kehangatan di dalam jiwa.”
>>> end <<<
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Silence..
A rhyme of broken wings
Mourn over requiem
Sing a black hole lullaby
Wait for years and seek for certainty
Lots of tangle fireflies draw a light sword to a bleeding face
Leave it in a suspence and dying
The truth has lies in broken seal for some quite times
Slither through blind eyes, some weakness shade
While hands bespattered by bloods
A soul’s dead, eyes slept, heart’s stops to pound
Escape and run to the frontier
Almost fall
Go home
Yet never be home
With tacit footscript of memories
A mean of letting go
A misery of an abstract thought
Is it burn?
Love?
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Sahabat dan Cinta
Dua wajah membayangi arah langkah menuju sahabat dan cinta.
Kadang dalam khayal aku melihat cinta mendatangi sahabat dan bertanya, “mengapa kau datang dengan antiseptik penyembuh luka ketika lara menghujani hati yang tenggelam dalam kebutaan?”
Lalu sahabat menjawab, “mengapa kau datang membawa cahaya magis pembawa kehangatan ketika bahagia merekah dengan cuaca berwarna pelangi keindahan?”
Kembali cinta berkata, “memang engkaulah pembawa kalimat embun yang mudah diterima telinga, dilihat mata, dan dirasa seluruh indera untuk dicerna dalam lambung mengada.”
Sahabatpun menggenapi, “begitu pula engkau, perona warna langit sepotong jiwa untuk mengarahkannya ikuti jejak cahaya hati dan tentukan makna dari setiap pintu-pintu yang terbuka.”
Cinta: “kau ada pada keutuhan ada-ku.”
Sahabat:: “kau pun alasan aku bertahan mengusung makna bersama.”
~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Kabut-kabut kelabu
Separuh hati yang berkeras untuk beranjak pergi masih juga tertahan pada separuh hati lain yang merintih menahan untuk bertahan di persemayaman bukit cinta. Padahal cinta itu sendiri lebih tidak kentara jejaknya ketimbang apapun yang pernah ada di dunia. Ketakutan akan apa yang pernah terjadi mencegah jiwa untuk memanjatkan doa yang sama, agar rasanya tak lagi akan sama. Setiap bayang wajah mulai membentuk, datanglah kecemasan membesar akan derai airmata yang menbanjiri seluruh raut muka. Wangi hujan, suara desing badai, dan putaran angin membawa semerbak anyir darah.
Patah karena cinta adalah musim gugur yang merata merasuki tubuh. Kelemahan datang menyerang seluruh keakuan untuk melawan. Penyesalan dalam cinta adalah tetesan darah yang mengalir memenuhi wadah. Mengajak hati kembali bertanya, kemana sang pecinta akan melabuhkan jiwanya? Sesuatu yang tak bisa teraih akan terasa sangat mahal ketimbang sesuatu yang begitu mudah tergenggam. Sementara menggenggam dengan terlalu erat justru akan mengaburkan makna kebebasan. Selaput kabut menggantung di wajah langit. Menebarkan bunyi sunyi.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Elegi (Satu)
Seorang lelaki badai menyanyikan lagu rinai hujan di luar jendela dengan dawai gitar pelangi dan melodi aliran telaga. Aku terkesima. Sejenak puisinya tak lagi mengutas temali asa. Aku menjelma asing, seperti ia yang kelak semakin menjelma asing termakan kepudaran waktu. Sepi menjeda, menghenyakkan hawa pengap menghimpit rongga dada. Ia telah membakar sekian ladang tempat mendulang emas kehidupan. Impian telah mengantar gelombang ragu berhembus bebas. Terpendam cemburu meninggi ke ubun, pertanyakan kesetiaan yang mendadak kian rabun. Ia membaca peta dengan mata hati, dan melihat kalimat-kalimat bertanding saling adu cepat berikan cermin, saat seseorang berkata: “cinta tak harus ditetaskan dalam kata-kata hanya demi meneguhkan hati yang meragui janji sendiri.”
Aku melangkah sendiri. Dia berenang menuju satu titik semu. Mataku lalu tertumpu pada bening kerling serupa berlian bermata biru. Titik yang mengantarkan kalimat sepiku pada pintu-pintu ragu yang tak habis membuka-tutup meminta diri untuk dimasuki. Hanya labirin-labirin di kiri-kanan segala penjuru jelmaan pintu-pintu menuju langit dan laut. Tak lagi ada lagu. Tak juga dendang merdu puisi-puisi malam yang dinyanyikan dengan lembut menebarkan nafas syahdu. Bahasaku kehabisan kata. Lidahku kelu tak mampu mengucap dan lantunkan suara.
Aku kian takut pada api. Cemas untuk kembali bermain-main dalam panasnya dan khawatir terbakar. Ia menyulut api kebencian dengan mendendam. Menyebarkan bara ke sekitar lautan kenang. Keenggananku untuk beranjak karena ketidakmengertian akan sesuatu bernama cinta masih membumihanguskan kepercayaan yang pernah kusemat mendalam di jantungnya. Hingga ia meleleh dalam lelah, terkapar meminta jeda dari setiap renjana yang datang menyerbu dan pergi lalui waktunya dalam satu gerilya.
Kukira telah terselamatkan bersamaan dengan beratus puisi-puisi yang menjejal batinnya, nyatanya aku tercabik-cabik dalam kobaran bara panas yang menghancurluluhkan asa. Sedangkan ia digerogoti berkas cahaya yang ia benamkan sendiri di palung terdalam jiwanya. Jika ini saatnya melibatkan tuhan dalam monolog tunggal, inilah saatnya berani pulang mengikuti arus. Meranggas, keropos, lapuk dan lesap. Merindui sejuk butiran embun, ikut menetes ke sungai ketenangan. Seperti janji yang tidak tertepati, berkhianat pada hati sendiri. Seperti dia yang tak ingin kembali, apalagi menggenapi ujaran yang tak pernah jadi.
Desember 21st, 2006
~~~~~~~###~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Elegi (Dua)
Persis ketika temaram mulai datang dan lekang menggantikan binar sang surya seharian, getar yang biasa mendebar dalam jantung mendadak sirna dan kehilangan jejak. Adalah malam yang remang namun menebarkan terang gemintang yang menyampaikan pesan ragu akan pencapaian romansa kenang. Gelombang yang berhembus kencang gugurkan putik bunga rambutan, hingga serangga berterbangan tinggalkan tempat hinggap idaman. Ingatan adalah ruang terluas bagi insan untuk terjemahkan arti ada dan alasan-alasan ada. Menjaring memori dan memancing keping peristiwa dalam satu tarikan hela dan kedipan mata, lalu merangkai cerita-cerita dalam bentuk yang terpepat jutaan ingat.
Adakalanya kita tertawa saling bermain adu dorong dan berayun diayun-ayunkan semesta, belajar maju dan tertarik mundur, maju, mundur, maju, mundur, terus sampai lelah. Lalu kita juga bermain putaran roda, belajar mengatur beban dan mengukur diri, mendorong dan terdorong, tergelincir ke atas dan ke bawah. Belajar tertawa lepas dan menahan tangis ketika menggelinding turun dan terjatuh keras. Mengukir tawa dan keriangan bagai loncatan serotonin yang mengilu ulu hati dan mengaduk isi perut kita. Lalu kita bermain hide and seek, aku berjaga kau sembunyi di bawah kolong kereta besi; kau berjaga aku sembunyi ke pasar dan tersesat hingga tangis nyaringku yang membantumu menemukan dan mengajakku pulang. Semestinya kita telah belajar banyak dari permainan. Seperti dulu ketika kita sama-sama menambal balon tiupan dengan letupan hangat kecup bibir, dan merekatkannya kembali dengan pagutan ujung bibir yang membuatnya semakin kecil, muai dan layu.
Pulang. Dalam perjalanan menuju tanah-tanah pengembaraan, kita sebaiknya terus berjalan. Para pejalan tidak sebaiknya berhenti dan terpana terlalu lama, apalagi terhanyut menikmati pemandangan bentuk-bentuk magis penuh keindahan dan kesegaran. Tak apa untuk sejenak berhenti, namun mesti lekas kembali mengusung tapak untuk melangkah. Jangan menoleh ke belakang, karena dengan menoleh kita akan lagi-lagi terhenti dan tergoda untuk melangkah kembali mengejar jejak yang tertinggal. Hal termahal dalam hidup adalah kebebasan. Rasa terbebas dari penjajah-penjajah dengan ribuan topeng di muka. Kebatilan, kebaikan, kekayaan, kemiskinan, kemapanan, kemelaratan, kesetiaan, kemunafikan dan topeng-topeng lain sejenis.
Kelepasan adalah kepemilikan. Kepergian adalah kedatangan. Pertemuan adalah perpisahan. Sedang kebebasan adalah kesejatian. Lalu kita akan belajar mengeja setiap suku kata dari luka dan kecewa llau mengurai semua cerita yang pernah tertera di peta kepala kita. Menyusun kalimat dari kata-kata penyejuk jiwa, dan membentuk paragraf dari kalimat-kalimat gulana penuh rahasia. Kita pun akan belajar terbang di tengah hari yang terik untuk menyusul rajawali mencapai puncak bukit. Mulai menyuapi anak-anak alam yang megap-megap kelaparan dengan nyanyian kerlip bintang sambil menerawang sejauh apa keluasan hati berperan menjejalkan nilai-nilai kehidupan dan kematian serta hakikat makna ada. Kita ada di sana karena kita berpikir bahwa kita pernah berada di sana, maka jika kita tidak nyata-nyata berpikir mengada-ada mungkin kita memang tak pernah ada.
Lihat saja, seorang puteri pendekap sekuntum mawar pun nyatanya sedang menampung tetesan darah di jemari yang terluka oleh duri sang mawar. Ia terjerat semak duri tepat di tepian rumah semu yang ia bangun dengan rasa percaya terlalu mengada-ada. Ia pun berjanji takkan lagi kembali. Pulang dan berlari-lari seperti telah sejak lama terbuang ke hutan gambut.. Ia melesat kian cepat menghindari bayang-bayang yang tak mudah lenyap. Ia melangkah menyingkap gelap kelambu kabut yang terlalu lama menerawangi bagai gemawan tak hendak gerak. Lalu ia memilih berhenti menjadi puteri, berpaling dari wangi mawar yang menusuk dan mematikan, melepaskan dekapan dan berlari ke luar singgasana taman mawar. Inilah kehidupan menuju kematian, atau kematian yang baru saja dihidupkan. Di mana setiap insan akan berjalan di setapak yang sama, sendirian, dan menemukan sesosok malaikat yang sama dengan pengajuan pertanyaan-pertanyaan yang disambut jawaban berbeda-beda. Kecintaan yang terlanjur teramat besar yang kurang diajar hingga tak juga hilang termakan waktu dan usia, telah menyesatkan jiwanya terlalu dalam berkeliaran di hutan penuh duri mawar. Ia berjalan tertatih bersama bayangan kita. Meneropong bintang dari kejauhan, menjaring matahari, dan menangkap cahaya rembulan. Seolah-olah terlepas dari segala unsur keduniawian, terputus dari kenyataan, terbang di jalur pengembaraan.
Desember 21st, 2006
~~~~~~~###~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Elegi (Tiga)
Memang lebih mudah menyalahkan orang lain ketimbang melihat jauh ke dalam hati sendiri jika berhadapan dengan kenyataan yang terlalu pahit untuk dikecaprasakan. Kemudian menyilangkan hati untuk memberi kesempatan diri menjalani kelanjutan setapak di jalur yang sama. Menolak untuk melihat kenyataan yang terpampang di depan mata dan berlari ke taman mimpi tanpa keinginan dan kesanggupan untuk kembali menghadapi. Mendustai diri sendiri dengan rapalan mantera semu dan berharap bahagia datang diturunkan langit untuk mengganti semua luka kecewa dan panah cemburu akan kebaikan-kebaikan yang berserakan di sekitarnya. Mengharapkan sesuatu yang tak mungkin jadi pasti, khayalan beranak pinak akan sang penyelamat. Menanti mimpi khayal menjelma nyata tanpa uluran tangan dan tetesan keringat di dahi. Mempercayai suatu berkah terlahir dari mimpi yang tak pernah diusung nyata dalam jelmaan wujud kasat mata. Melakukan hal paling sia-sia, berputus asa.
Jika saja cinta, kebenaran dan keyakinan bisa menjadi penyelamat paling kuat dari kejatuhan, maka pasti takkan ada jiwa melayang tanpa tali menuju sesuatu yang tak lagi bisa dijangkau dengan doa terbaik apapun. Jika saja pengertian bahwa kekayaan tak selalu bisa membeli kebahagian selalu terpampang jelas bagai iklan berjalan di seputar kota, maka pasti takkan pernah ada hati yang terbelah dan darah yang bersimbah hanya untuk mengejar satu sisi bahagia di atas penderitaan yang lain. Jika saja sentuhan telapak tangan di kedua pipi dan tatapan mesra sepasang mata yang menyampaikan pesan kasih dan sayang begitu besar bisa menyelamatkan semua jiwa yang memilih pergi dengan kepala tertunduk kembali ke rumahnya masing-masing dan berkumpul dengan kerabat yang bersedia menyayanginya tanpa satupun syarat, maka pasti takkan ada ketidakberartian hidup yang menjejak tegas di sanubari batin para petarung yang kehabisan amunisi dan bekal berperang. Jika saja satu, dua, lima, sepuluh, dan beratus pelukan dapat mengganti satu rasa kalah di jiwa sang pengembara dengan rasa bangga dan kemenangan tanpa cercaan, maka mungkin takkan ada harga diri yang terinjak-injak dan diakhiri dengan petaka. Sungguh betapa menyedihkan semua kehilangan yang tak temukan pengganti setara dengan apa yang telah dihilangkan. Sementara begitu banyak kehilangan yang tidak menyadari akan apa yang pernah di temukan.
Satu neraca pernah mengukur besarnya asa dari satu jiwa yang berkeras ingin terus tetap berjalan di setapak cinta walau sendirian dan tercukupkan dengan berkasih-kasihan dengan sang kekasih dari kejauhan. Rasa rindu mengajarkan matanya melihat lebih banyak dari yang mata lain lihat jika berdekatan dengan sang kekasih. Matanya telah dipilihkan untuk melihat bentuk-bentuk kasih sayang yang agung dan esensi penting dari cinta tanpa syarat itu sendiri. Walaupun hasratnya merongrong untuk didekatkan dengan diri sang kekasih, namun sungguh kedekatan ia takutkan akan meneteskan nila di lembar polos kanvas hatinya hingga mencemari seluruh bentuk jiwa tanpa bisa diperbaiki kembali. Neraca itu membaca tanda dengan bahasa yang sulit dimengerti insan tanpa mata hati. Tanda-tanda yang hanya memampangkan segaris ukuran tanpa angka sama sekali. Itulah neraca kemurnian paduan jiwa, pola pikir dan hati.
Tak ada satu pun jiwa yang mampu menggantikan maksud pengadaan dari jiwa yang lain, begitu pula tak berhak satupun mulut untuk berkata bahwa jiwa bisa digantikan dengan jiwa insan lain yang jelas-jelas pasti berbeda paketnya. Bukankah telah terlalu jelas bahwa tak ada satupun bentuk paket sempurna dari setiap insan yang berdiri maupun berbaring di muka bumi? Maka baiknya hati mulai belajar berhenti mencari kelebihan yang melebihi kelebihan jiwa yang lain untuk disandingkan dan dicocokkan dengan jiwa sendiri karena belum tentu telah pantas juga jiwa sendiri bersandingan dengan jiwa mereka yang dianggap pantas.
Kebaikan itu adanya pada hati, kecerdasan pada pikiran dan ketentraman pada jiwa. Jika ada kecacatan pada salah satunya, mencoba menutupi dengan tambalan berlebih dari salah satu unsur lain akan lebih bijaksana ketimbang membesarkan kecacatan yang ada dan menutupi kelebihan yang jelas-jelas mencolok lebih kasat mata. Bukankah telah terlalu banyak kesedihan dan kesusahan karena perbesaran dari sekian cacat yang ada pada diri setiap orang? Begitu susahnyakah keseluruhan diri untuk menerima arti ada kehadiran orang-orang di samping kiri-kanan, depan-belakang, atas dan bawah kita tanpa menggunjing dan melotot pada apa yang ada padanya?
Lagu indah, puisi menyentuh, epos mempesona dan kisah memukau hanya bisa diciptakan dengan indera karsa dan estetika batin yang putih tanpa keberpihakan. Sehingga seluruh indera jelas-jelas dapat merasa dan mengirimkan pesan kentara pada jonjot-jonjot isi kepala mengenai apa yang ada dan akan semakin mendewasakan jiwa kita untuk terus berbijaksana menyikapi setiap peristiwa.
Kini baru kusadari, cinta hadir perlahan namun pasti bisa merasuki jiwa tanpa bisa terhindari.
Walau aku mulai nyalang mencari-cari sisi lain dari kecintaan yang mengikat hati dalam janji, aku masih juga setia meyakini bahwa jiwa ini pantas terbebas dari setiap penjajah-penjajah relung yang akibatkan airmata karena perih terluka. Layaknya pendewasaan yang mengalir tanpa henti dan tak pernah bermukim di satu tempat dalam waktu lama, lengkap dengan pasang dan surutnya. Tidak bisa tidak menggerus tanah sendiri pada ujung waktu saat sesuatu yang diinginkan tak sama dengan yang terjadi. Tidak juga bisa bertahan berlamaan menelungkupkan tubuh bersidekap tanpa gerak karena hanya pesakitan kian parah yang pantas melakukan pemusnahan eksistensi diri semacam itu.
Kita. Satu kata yang tak pernah jadi nyata selama kebersamaan dalam kejauhan terjalin di waktu-waktu musim masih bisa ditoleransi dan adaptasi adalah bahasa pasti. Satu sesal yang pernah bergulir kian besar bagai bola salju untuk bisa menerakan jejak kisah yang terlalu mustahil termulai untuk diakhiri. Nyatanya cinta tak selalu berasal dari hati, begitupun cahaya tak selalu bisa terlahir dari api. Cahaya bisa hadir dari cahaya saja, dan cahaya itu bisa bertitel cinta atau rindu yang kadang api. Ia lulus dari sekian pemberian gelar dan pembelajaran yang tertempa keras dengan berbagai aral. Ia terbentuk dari sekian pemahaman dan pengetahuan akan semua pengenalan beberapa musim yang kentara bisa menyatakan satu pinta dalam wujud keterlibatan tak kasat mata. Musim semi, namanya. Ketika senyap mengantungi pendaran warna-warna muda yang menyatu dalam benak jiwa, dan desir angin terasa begitu lembut dan halus menyapa kulit, itulah saat kuingat musim semi di batinku sedang terjadi. Musim semi terindah yang kurasa takkan lagi bisa seindah musim semi lainnya.
Desember 21st, 2006
~~~~~~~###~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Lelah yang Semu
“aku akan pergi”
Itu kalimat terakhir yang kudengar dari berat suara yang membelah malam dari kedua katup bibirmu. Bukan sesumbar berharap aku merintih menahan kepergianmu dengan tangis tak kunjung reda, bukan pula serupa ancaman yang menakut-nakuti agar kululuskan segala apa yang kaupinta untuk jadi wujud nyata kasat mata. Aku tahu kesungguhan hati dari kalimat pendek itu. Seolah berkata, ‘seberapa keraspun kau berusaha menahanku untuk pergi dari sini, pada akhirnya aku tetap akan pergi.’ Seolah menegaskan, ‘sekuat apapun kaumemeluk tubuh lemahku agar tetap tinggal dan berhenti melangkah menjauh dari sini, aku tetap akan lenyap.’ Aku hanya dapat mencari bening kerling kebohongan dari sinar matamu, walau nyatanya tak juga kutemukan di kelam dua bola matamu. Lalu aku mulai terisak menahan pedihku sendiri dengan alasan kecintaan yang sangat egois sekedar berharap kau takkan pernah benar-benar meninggalkanku.
Semua ini memang bukan semata salahmu. Hanya aku yang berusaha mematik api buat terangi langkahku sendiri dan di tengah jalan kutemukan cahaya yang lebih benderang dari apiku. Adalah kesalahanku mendekat ke arah cahaya dan tak jua rela beranjak menjauh dari hangatnya. Padahal saat itu aku menyadari bahwa aku tengah berteduh di rumah seseorang yang asing, dan meminjam cahaya miliknya untuk menerangi kegelapan batinku, seolah untuk sementara. Walau akhirnya aku harus terbakar oleh cahaya itu ketika harus keluar dari rumah yang dihuni seorang asing yang tidak menghendaki kehadiranku menodai lantai rumahnya.
Aku merasa sempat berputar-putar di hutan rimba belantara beberapa lama, tanpa panduan apapun kecuali api dari cahaya yang membakar jiwa ragaku. Betapa cinta sebegitu dasyat menggelombangkan arus dan memutar balik segala sesuatu yang mungkin menjadi tidak mungkin begitu pun sebaliknya. Kadang aku menjadi bara, kadang menjadi arang, kadang jadi abu. Kadang aku kayu, kadang kertas, kadang serpihan panas.
‘teriring harap dari kalbu, jadilah pelangi yang tak lagi menanti hujan sekedar menyapa bumi’.
Terucap asa dari luapan harap untukku, bukan harap padaku. Seuntai harap yang hadir dari kelembutan masa di kala langit yang bersinar terik tak terasa membakar, dan cuaca yang tak bersahabat tetap terasa menyejukkan. Entah mana yang lebih berperan, cintakah atau justru kasih sayang terlampau besar
perwujudan harap yang tak terhenti akanku. Kadang memang mesti ada yang tak bisa selesai dengan kata, sikap atau waktu. Namun aku tetap merasa belum keluar dari hutan belantara yang semakin dalam menyesatkan batinku untuk bertahan pada poros kecintaan ruang hati yang tak mungkin berpihak pada selain dia.
Entah apa yang ingin kubuktikan pada wajah hidupnya yang jelas-jelas tak lagi kentara menemani di setapak ini. Semua tampaknya telah berlalu dan berakhir dengan kalimat pisahku yang kelelahan menanti kepastian yang tak pernah kunjung kutemui jawab. Tak ada dusta berperan kini, tak juga ada pertikaian baru yang menuntaskan kisah dengan alur menyedihkan.
Telah kutuntaskan satu janji dengan serangkaian bentuk penyelamatan kayu-kayu besar yang kokoh. Satu bisik yang pekakkan telinga ketika sambaran petir di ujung jalan pun tak terdengar gaduh menggelegar.
“selamat ulang tahun, belahan jiwa. Semoga kau senantiasa temukan bahagiamu di sepanjang setapak yang panjang, walau hujan ‘kan menemani dan sejuk hawa menyertai.”
Februari 6th, 2007
>>> *end* <<<
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Warna Senja
Kadang aku masih melongok keluar jendela dan kutemukan seorang lelaki yang sama bersandar di batang pohon sambil menatap warna senja. Melihatnya membenamkan angan dan melayangkan awan impian yang terbawa angin dan sampai pada hamparan wajah perempuan yang dicintainya. Dari kejauhan ingin rasanya kurengkuh bidang punggung sepinya berlama-lama. Tanpa harus kusapa wajah sendunya karena aku telah begitu hafal dengan semua bentuk lekuk dan titik-titik noda yang menghias di sana. Tanpa harus kembali kubaca isyarat letih matanya karena telah begitu terbiasa melihat binar itu bertengger begitu lama di dalamnya. Aku hanya ingin ia merasakan detak jantungku dari rangkaian saraf di tulang belakangnya, sekedar menandakan bahwa aku masih berharap ia sadar bahwa aku masih menginjak tanah dan bernafas.
Ia telah lupa pulang. Mungkin ia pun telah lupa pula arah menuju pulang. Meninggalkan pecahan-pecahan terompah kaca yang terbanting bersamaan dengan pintu yang dibantingnya. Meninggalkan puing-puing berserakan di depan pintu, sehingga setiap kepingannya mampu menghalangi siapapun untuk masuk dan seisi rumah untuk keluar. Nyatanya, di rumah hanya ada aku dan anakku, yang masih juga sesekali mengucap doa untuk kepulangannya.
Ia masih bersandar di sana. Menunggu langit berubah gelap, dan bayang wajah perempuan tercintanya lenyap dari ingatan. Semenjak bulan lalu di setiap hari menandakan senja mulai datang, ia selalu berdiri di sana. Lalu, ketika malam benar-benar menjemput bulan untuk duduk di salah satu titik lingkar langit, dan bayang tubuhnya tak lagi kentara di pandangan, aku tak lagi bisa melihatnya. Hingga esok sore, pada waktu warna senja berpendar.
Sore ini agak lain dari biasanya. Langit tak menyisipkan warna ungu jingga yang mempesona. Hanya ada abu-abu kemerahan, tanda akan turun hujan. Kilat sudah mulai membelah langit, suara gemuruh guntur sudah terdengar menggaung menggelegar. Serangga sore yang biasa sibuk mondar-mandir dari satu kuntum ke kuntum yang lain, menghilang tanpa tanda. Udara menjadi pengap dan menyesakkan. Cuaca sangat tidak bersahabat.
Lalu hujan deras datang mengguyur tanah. Seketika dengan cepat menggenangi selokan tetangga dan membanjiri kolam depan. Ikan-ikan menggelepar keluar mencari kebebasan dan bersusah payah dengan insang megap-megap. Gemuruh suara angin yang mulai kencang berputar membanting daun jendela yang belum sempat kututup. Desirnya menggoyangkan dahan-dahan randu dan cemara yang tinggi hingga membengkok hampir patah. Dedaun berserakan.. dan sekedip kulihat sesosok siluet tubuh lelaki yang sama masih berlindung di bawahnya.
pohon itu tak lagi layak untuk dijadikan tempat bernaung dan bersandar, sayang. Ia hanya akan mematahkan lehermu dengan dahannya yang patah ditampar gemuruh angin. Ia tak lagi bisa menjadi kawan sepenanggungan.’
Anakku mulai menangis. Ia sembunyi di pelukan sambil meronta dan menjerit nyaring ketakutan. Aku mencoba semua cara untuk menenangkan, hingga ia mulai diam dan waspada pada setiap bentuk suara. Lagi-lagi ia mempertanyakan keberadaan ayahnya. Masih juga kujawab dengan jawaban yang sama.
“ayah belum pulang dari mengembara, nak.”
Trenyuh hatiku menahan pedih kenyataan yang memaksaku berdalih tak memberitahukan bahwa ayahnya masih bersandar di satu pohon dan kehujanan di luar sana, tepat di ujung bukit. Perih lagi-lagi memberi alasan abstrak untuk usianya yang belum genap tiga tahun, dan membiarkan ia berimajinasi menggambarkan makna jawabanku. Baiknya, ia tak pernah rewel merongrongku dengan tanya senada. Kadang mengajakku berpikir, mungkin ia mengetahui lebih banyak dari yang pernah kukatakan.
Malam kian larut mengantarkan aku dan anakku dalam buaian. Bayangan sesosok lelaki di ujung bukit sudah menghilang dan mesti kunanti esok sore kembali demi menjawab tanyaku akan kebertahanannya di sana.
***
‘Pergilah dari hidupku, kekasih. Biarkan aku kembali pulang ke rumah kita. Aku akan selalu mencintai dan mengenang kalian berdua. Untuk mengenang, aku mesti tetap hidup. Maafkan aku yang dengan tidak sengaja mengakibatkan hal yang buruk terjadi padamu dan anak kita pada pertengkaran sore itu. Aku tak pernah bermaksud melempar terompah kaca itu ke arahmu, apalagi untuk membunuhmu. Tapi itu telah terjadi. Dalam ketidakberdayaanku menghadapi rasa bersalah, maka kukirimkan anak kita untuk menemanimu. Kuharap dengan begitu, kau bersedia memaafkanku. Aku tak beranjak dari pebaringan kalian sejak sebulan lalu. Karena aku ingin terus mengingat masa-masa kebersamaan kita yang begitu singkat. Aku baringkan kau berkain kafan di bawah sana, sambil memeluk tubuh mungil anak kita. Dengan harap kecil yang bersimbah dosa, semoga engkau dan anak kita tetap berbahagia.’
[20 Januari 2007, 21.30, kebun jeruk]
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Sepenggal Rindu
Masih terjaga satu runutan benak yang menggambar jejak yang pernah menjelma istimewa. Satu tebaran bintang yang menggetarkan rasa di dada kiri semasa belia, dalam satu ketukan nada yang tercipta begitu mempesona. Kebersamaan dalam lingkar cinta, antara aku dan dia. Lalu aku berpendar kian besar hingga terlupa akan getar itu. Satu masa yang wajar terasa di masa muda. Mengira telah jatuh mencinta. Dengan keluguan dan kepolosan tanpa rasa berdosa, kutinggalkan tebaran bintang itu dan berpaling pada cerah langit biru.
Ribuan semut merayap di pohon randu.
Setiap sampai pada tangkai bunga ungu
Tatap mata mereka berubah sayu
Membaca ragu yang tersemat di antara kelopak-kelopak rindu.
Kuantarkan hatimu menuju kehidupan berwarna perak
Agar langkahmu diterangi
Dan batinmu dilindungi
Karena aku tak kan bisa menemanimu berdiri di sana
Menggantikan tempat wanita tercinta yang kaupilih untuk bersetia
aku masih pula seorang insan penunggu prasasti monumen cinta yang terpugar waktu selagi semuanya kentara kian menohok dada. jalinan semu, keabstrakan bahasa, dan keterbatasan asa semakin menjauhkan apa yang kuharap menjadi nyata. apalagi yang tersisa seharusnya?
ah, puisi senja menari-nari di layar monitor seorang penjaga. membawa hatinya melesap sejenak untuk artikan makna kalimat, dan luruh senyumnya magiskan suasana. "hai..", katanya. lalu seseorang menjawab, "bagaimana hari-harimu, pujangga?"
aku sedang membangun kembali serpihan mimpi yang pernah kuporak-poranda setelah aku kehilangan hampir separuh jiwa. "bawakan aku perekat yang hangat, sayang." sementara semua kembali beranjak menyusuri waktu masing-masing dengan rancangan rencana di benak. "tunggu aku, setelah sekian masa kita tak bertemu."
15 Januari 2007
[13:51:42]
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
bersendiri..
duduk sendiri membelakangi sekian balur kenangan yang menganga bagai pintu terdobrak penuh pecahan kaca. sendiri terpekur mengingat sekian waktu yang menjadikan hati sedemikian kuat juga rapuh. memeluk kaki sendiri begitu erat hingga sesak singgah mencekik rongga dada. melupakan luka.
daun terakhir memang telah terlepas bebas. titik. titik. titik. demi waktu yang menentukan batas nadir antara ada dan menghilang. demikian juga aliran darah yang membanjir terbawa cinta. lentera telah mati. api telah padam sepadam padamnya.
lalu dia hadir. jiwa lain yang pernah menyapa setelah lamat-lamat kunikmati kecintaan yang melukai. jiwa pembawa obat merah sebagai antiseptik ampuh penyembuh koreng yang masih sedikit basah.
limbung. keinginan mendasar untuk terus ditemani masih mengkungkung hati yang berusaha diam dalam hingar ludah-ludah kental yang dimuntahkan, begitu memuakkan. Di mana? berada di mana? di mana matahari itu? atau sekedar bersit cahaya mampir yang memberi bayang gelap tegas sebagai kembar yang bersedia meringkuk di sudut ruang menemani kecemasan kemelut pikir ini. banyak jiwa yang telah sungguh-sungguh mengundurkan diri dari wajah hidup yang sepi ini. maka hanya akan semakin sepi. senyap. diam yang dalam-dalam merayapkan tali pengikat diam-diam.
aku hendak memagari hati dengan duri agar yang mendekat terluka. aku hendak menaburkan buih sabun di sekitar rumah agar calon-calon pencuri hati jatuh terburu dan melayang pergi tanpa jejak. aku hendak berhenti memunguti percikan sisa kembang api di taman, mengurung jiwa bersendiri dengan diam-diam menangisi kenaifan cara pandang ini. hampir saja tak mengerti apa yang kuinginkan. menarik diri dari kehidupan ternyata tidak seindah khayalan. keluasan ini membingungkan. aku hanya tidak mengerti bagaimana menjalani sebuah ikatan hati yang terlanjur berjanji bersedia menanti kapal terindah, terkuat dan teristimewa menyampirkan tali.
nyatanya dia masih bernafas tegas dengan sekian beban tertahan di pundaknya. nyatanya dia.. masih juga mengingatku yang tenggelam dalam butiran rindu di malam-malam sesunyi makam. aku masih menginginkan wajah kehidupannya.. sampai akhir usia, rupanya.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Lantunan Rindu
ketika satu bentuk hati diselimuti merah jambu,
ketika suatu rasa dilingkupi dengan bayang-bayang nama ‘cinta’,
getar rinding menjalar di sekujur tubuh.
Tatap mata meredup lembut.
Nada suara pelan bergayut.
Desir aliran darah serasa melambat, begitu kental.
Saat itu jua jiwa serasa ingin lari meninggalkan tubuh yang terjalar virus
Merasa dikhianati tubuh sendiri,
karena setiap desir yang perlahan menderas semakin mencoba merasuki jiwa
membelesak berontak mencoba keluar dari belenggu tubuh,
menangis..
haru ini membiru.
Desir angin malam sisakan rinding yang bangunkan rambut tengkuk.
Lemah gontai tertatih melangkah mencoba memburu bintang yang sempat jatuh di kotaku.
Merindu..
Senyap mengusung keranda rindu yang hampir saja terpuruk meluruh mati layu.
Rindu!!
Rindui jiwa-jiwa cantik yang pernah temani senyawaku nyanyikan dengung hidup.
Lalu aku jatuh di gurun kenangan yang mulai mengering.
Kenangan itu membanjir
Namun jiwa kerontang diserang sepi nan beku.
Adakah kau juga rindukan adaku?
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
- Pecahan Hati -
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Cercahan Rindu Bidadari
andai selaput mata hati terpecah dalam bias kecemasan,
aku hanya dapat membayangkan kau tetap bersandar pada naungan sang bidadari
andai kelopak mata terkelupas,
aku dapat mengerti kau mungkin akan berpikir aku masih juga menanti
andai sayap bidadari pun terkoyak,
aku hanya dapat berlutut menangisi jiwamu yang berpasrah dan bersimpuh meminta dekap
kuhanya dapat menyayatkan luka lama dan terkuak
kuhanya dapat menatap bayang yang tak lagi bisa lenyap dari lintasan ingat
aku hanya sanggup memakai topeng saat kau menjauh
bukankah selama ini aku bagai mati dalam dirimu,
aku hanya hidup dalam ilusi indahmu tentang langit dan ribuan bintang
aku mengerti usapan-usapan hangat takkan mampu terlerai menjadi harapmu,
sampai kumengerti betapa kita takkan bisa lagi seperti dulu
suara-suara halus tercercah dalam renungan bidadari,
takkan mampu goyahkan langkahmu walau terpental sekalipun
adakah kau coba sadari,
selamanya segalanya takkan penah berganti,
hitam takkan pernah jadi putih,
ketentraman hati takkan pernah bisa dibeli
aku takkan berhenti melangkah maju,
menggapai nadi-nadi yang masih berdenyut,
mengukur detak-detak jantung yang masih berdegup,
sampai pada waktu aku demikian lelah terserang penyakit senja dan tiada mampu melangkah lagi
sampai pada saat terakhir aku berhenti bersenandung untukmu selamanya,
sampai pada saat terakhir tak kudapati jiwamu di garis batas selatan dan utara
sampai sesat kumeraih degup-degup batin yang senantiasa saling memanggil,
sampai luruh warna diri dari kefanaan semesta
kuingin selalu debar-debar ini untukmu,
walau nanti entah mendung atau cerah yang tergambar di puisi kanvas hari esok buatku,
jari-jari ini akan tetap melingkar mengiringi putaran rotasimu, di hidupmu..
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Cinta
Cinta, wujud mayamu singgah kembali di jiwa
Merengkuh senyawaku begitu eratnya
Memagar ujaranku untuk hentikan sisa asa
Tuhan, aku senantiasa mencintanya
Tidak berdaya melawan arusnya
Jangan hujamkan hatiku dengan rangkai damai yang kuingat,
Jangan lagi toreh sembilu yang pernah menoreh luka dan lumpuhkanku
Cinta, tidakkah kau pahami..
Tentang lubuk hati yang memerih menolak sepi
Tentang imagi yang menuntunku susuri lintas masa lalu?
Tidakkah kau pahami,
Bahwa aku masih bertahan mencinta setelah sekian masa dan peristiwa?
>> tidakkah kau mengerti?? <<
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Enyahlah..!
Matilah dari ingatku
Melayanglah dari segenap waktuku
Lekatkan bara panas di dekat jantungku
Tepiskan hadirmu bagi jiwaku
Kita ilusi yang tersublimasi
Maya tiada bentuk nyata selain khayali
Mungkin..
Aksara tak pernah ada jua di semesta
Kita?
-25 Juni ’03-
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Inikah ..?
Duhai engkau beraja bagi suramnya malamku,
Perawan penawar luka jiwaku,
Di mana cinta yang kau sandarkan padaku?
Di mana damai kau sembunyikan?
Rupanya waktu telah melesapkan rindumu..
Rupanya batin tiada lagi bersua kata..
Duhai elok pemanis detik masa laluku,
Inikah hukumanmu padaku?
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Kau..
Saat itu, nelangsa singgah menjamah
Sisakan pedih tancapan panah hati
Sadarkan jiwa untuk henti langkah-langkah norma mereka
Walau pincang namun tegar berdiri di tengah kecaman dunia sendiri
Kau,
Nelangsa yang kerap hujamkan belati dingin tanpa rasa
Kokoh berteguh pada janji hati
Untuk tak lagi bersua kata dan berbagi bahasa jiwa
Kau,
Hilang sisakan jejak cahaya
Untukku..
Oktober 8th, 2003
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Belati Kenangan
Tidakkah ia hantu masa lalu?
Statis di antara jiwa yang berlari dikejar waktu
Menuruti kehampaan yang sama sekali tak hampa
Berkelakar menyepi guraukan pendar cakrawala
Aku.. bidadari yang ia patahkan sayapnya
Langit biru yang ia kelamkan biasnya
Menghakimi di tengah kebejatan keputusasaan jiwanya
Aku.. bidadari yang terlukai kecaman dunia sendiri
Menghunus belati perpisahan atas nama harga diri
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Jiwa
Jiwa,
Jika aku tersesat di luas langit
Menjelma jadi rupa tak berbentuk
Melayang tinggalkan segalanya
Adakah pikirmu kerap kidungkan senandung lirihku,
Dan selamatkanku?
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Hanya Dia
Tuturan langit menghujani candaku dengan tangis yang biru
Tertulis satu lembar tentang liarnya kembara jiwa
Mencari arti, mengarungi lautan persona
Lewati pundi-pundi kehampaan
Dongeng panjang hati pecinta
Semua mengada
Sisakan celah pola pikir ‘tuk pertimbangkan segala pesona dan renjana
Cinta, satu-satunya yang bernyawa
Hanya dia.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Beraja
Beraja,
Labirin hatiku berbisik
Indahmu menancap tegas di setiap sel tubuhku
Aku mencintai tanpa peduli tirai baja mengurungku
Tanpa peduli kuterbaring lemas atas hujaman alas beribu paku
Tanpa peduli ditelanjangi dalam dingin nyeri menusuk tulang
Tiap detik masa kenangan tentang wujud hidupmu
Terus patrikan harap nafas bagi esokku yang entah
Beraja,
Walau pandir hatimu telah berpaling
Dan poros pijakmu telah berpindah
Ijinkan aku menyapa,
‘apa kabar belahan jiwa?’
Karena aku tetap terpesona.
-25 Sept’ 04-
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Hilang Tak Kembali
Alam tak lagi menjejakkan seulas senyum untuk kita senyumi
Tak lagi berharga penggal kenangan di detik-detik masa lalu untuk ada kita yang tak lagi sekata
Keindahan magis itu telah tertarik kembali ke asal adanya
Kembalikan tudung maya yang biasa lindungi kebersamaan kita
Bukan lagi angkara
Bukan pula segelintir urutan asa
Hanya cerita usang yang lusuh lecak di sudut ruang batin penuh rahasia
Kini, saatnya tiba melangkah sendiri berkelana meninggalkan puing rumah impian kita
Tak lagi berdimensi,
Tak lagi bisa kembali.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Tanyaku
Ke mana cinta membawa asa, jiwa?
Ketika ujarku tak lagi degupkan gempita cakrawalaku sendiri
Ketika langkah kian berpacu meninggalkan sekian pesona lama
Pun keberadaan makna dari bahasa jiwa yang mengentah tak sisakan setitikpun jejak aksara
Layangkan renjana tanpa satupun suara
Ke mana cinta membawa asa pecinta, sayang?
Ketika larut kutelan tegukan pahit nelangsa dan nyawa menyapa
Adakah pintaku berwujud pijar lampion jendela kala cerah kembali membasuh jiwa?
Ke mana kecintaan membawa jiwa pecinta berkelana tanpa peta?
Ke mana, jiwa?
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Kidung
Aku meracau
Mendongak ke atas selaput maya
Bukankah hitam di batas sana kabut berselimut misteri?
Bukankah permadani langit masih tergelar?
Bukankah bahasa dewa-dewi belum berkumandang?
Apa yang terjadi pada hati ini, bintang?
Ke mana rasa indah yang bersemayam ini membawaku serta?
Melalui arus mana riuh angin ‘kan melayangkanku?
Dengan apa gelora ini sirna?
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Puing-puing Luka
Selayang masa menyapa
Atas puing-puing monumen mimpi yang telah kembali tertata rapi
Atas prasasti beku hati yang mencair karena hangat cahaya
Lewati ratusan juta detik yang koyak di hadapan ingatan
Kosmik yang mulai berserakan di semestaku dan semestanya
Prasasti kenangan yang sejatikan tebaran malam-malam
Buatku menaruh pedang
Tak lawan waktu melayang
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Bukan
bukan gelap yang kukhawatirkan, tapi dengung heningnya.bukan pengap yang kubenci, tapi sesaknya.bukan dia yang aku ingini, tapi keseluruhannya.maka... ijinkan aku belajar sedikit membenci rasa sekali saja.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
EnyahLAH!!
Enyah saja
Telah kubiarkan mengangkasa
Karena terus bertahan tanpa henti mencoba melawan seok langkah
Semakin menghujam lara
Diamlah
Biarkan aku membekukan hati
Enyahkan rasa sakit di hati.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Melepas Kecintaan
......... ....... ...... ..... ....
telah kulepas ke langit malam harap mimpi tentang lanjutan kisah indah kita.atas nama kepasrahan kuikhlaskan kepakmu menjauh dari pandanganku.berantai cerita turut luruh terbawa sosok hilangmu.namun, kau sungguh begitu mempesona..kau tancap cinta sedemikian dalam di jantungku, dan kau toreh luka sepi dengan sembilu perpisahanmu.kau ubah sisi cinta di batinku menjadi sedemikian indah memancarkan pijarnya, dan seketika itu juga torehkan belati 'tuk lenyapkan nikmatnya.entah mana yang lebih kucinta, dirimu, kenangan tentangmu, atau justru keseluruhannya.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Bila [Telah] Tiba Saatnya
Di sana,
Terpeluk keindahan jiwa yang terpelihara dalam buaiannya
Kecintaan terpenuh yang pernah dihadirkan wajah hidup padanya
Damai dalam kesejatian setia,
Teduh dalam lindungan asmara
Sementara,
Kusibukkan hati menjalani hari meninggalkan kecintaan pada seluruhnya
Semakin tersamar sejatinya alasan tuk beranjak dari ledakan-ledakan semestaku dan semestanya
Lelah..
Sisakan satu kamar di benakmu untuk kudiami,
Sisakan satu ruang tersendiri di antara jutaan memori hanya untukku,
Satu ruang yang tak perlu kau kunjungi berkali-kali
Ruang yang cukup kau kunjungi saat kenangan tentang kita sedikit mengusik tapamu..
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
S e k e t i k a
Kamu..
Semesta raya yang menjelma partikel-partikel udara
Berupa oksigen dan karbondioksida
Seketika dengan mudah
kau dapat menghidupi atau mematikanku
Kini,
Bisakah kuubah kau menjadi..
t… i… a… d… a… ???
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Dalam Kabut
Diam menyapa
Hening membelenggu
Pijar jilat api menghampiri dan membakarku
Desakan dinding waktu pun kembali menghanguskan
Hingga tersisa serbuk abu,
Tebal
Menyebar.
Itu aku..
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
setelah daun terakhir melayang lepas..
inilah titik pertama di mana aku mulai menjejakkan kaki di tanah tak bertuan dan antah berantah, tanpa ada seorangpun kukenali. sekian wajah lalu lalang tampak pucat pasi, sementara aku masih menyusuri setapak ini mencoba kuat mencari wajah hidup yang tebarkan semu merah di pipi. tiada dia. walau semerbak kenangan di makam itu masih kentara menyergap dan membius setiap ujung-ujung saraf otakku. tersimpan selalu. masuk dalam ingatan jangka paling lama. berbekas. jelas.telah dia lepaskan rantai pengikat leherku malam itu. mencuci garis merah suci di keningku dan ceraikan aku dari sisinya. melangkah terus bergandengan tangan dengan perempuan yang telah terlalu lama menggenggam jemarinya. sambil berdalih, salahkanku atas semua cinta yang kuhadirkan bulat-bulat untuk wajah hidupnya. sekian sudah. aku benar-benar harus mematikan lentera. menutup buku dan bersiap membakarnya. biar saja menjadi serpihan-serpihan abu yang melayang tanpa sisa. menghias pandanganku dengan kabut. selesaikan ceritaku dengan bahasa kabut. usai sudah cerita ini. titik.jauh di sana, dalam kamar lapang yang dipenuhi lukisan, buku-buku dan satu unit monitor yang dibiarkan menyala sejak pagi, lagi-lagi dia bergeming di tempatnya duduk menyeruput kopi dan mengisap tembakau berlapis putih. menekuk salah satu kakinya menjadi tumpuan tangan yang menyelipkan tembakau dan menghembuskan asapnya ke udara. tatapannya liar memandangi langit yang mulai hitam. dan senja pun usai. kali ini, benar-benar telah usai.buku telah terbakar. menghias langit malam di tengah kota entah dengan abu-abu guratan luka. tak lagi ada yang tersisa. tak lagi ada saksi akan indahnya sebuah kecintaan yang hampir purna.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Momentum Paranoia
telah kusebar jutaan kata di perjalanan waktu yang kulewati 'tuk sekedar lari dari anak-anak liar kembara. entah atas nama apa, aku masih melangkah di putaran roda keesaanNya. ada satu ingat yang menyembul serta merta dan menghampakan sekian partikel suara. tentang cahaya yang singgah memberkas di salah satu episode waktu dan mengisi kepapaanku dengan hangat cinta.aku menyambangi getarannya. membelesak paksa menikmati pijarnya. dari hangatnya aku belajar memaknai gelap. dari pancar sorot sinarnya aku belajar melihat dunia dengan selaput keindahan yang nyata. kini memang rasa bukan lagi segalanya. satu kedirianku luruh kehilangan sel-sel makna. bukan pula mencinta atau mematri prasasti cinta di jiwa.bahkan kini aku sedang tersenyum hampa memandangi jejak langkah yang baru saja kulintasi kembali tentang keping-keping sejarah kecintaanku padanya. keping-keping sisa jemawaku akan keutuhan sesuatu yang dulu pernah kunamai setia.pagi ini masih begitu sejuk, matahari masih menatap lembut di balik gumpalan awan. mengintip. mengintai. dan itulah dia, sang cahaya. aku merasa selalu dimata-matai oleh tatapnya. membuatku lebih rela keluar di malam gelap ketimbang melanglang di bawah pijarnya. walau aku tahu, dia tidak sedang menyinari bumi untukku, tapi untuknya... selalu untuknya dengan setia.kalau boleh, pagi ini aku ingin berdusta, bahwa aku tidak lagi memikirkannya, karena kutahu sewaktu bersamanya aku merasa bermakna, dan tanpanya aku semakin kehilangan guna.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Resah
Guratan-guratan luka membilur biru di wajah alam sang kecantikan. Mengisahkan sekian lara pembangkit airmata. Sekian getir getar mengiringi asa terbelah. Tak ada satu pun jiwa yang ingin disambangi dengan gairah. Tak ada satupun makna diberikan pada permadani hidup. Hanya ingin merasai bilur-bilur biru luka. Tanpa nanah, tanpa obat merah.
Sendirian menapaki jalan-jalan kembara yang berbatu dan penuh paku, bertelanjang kaki. Tanpa bekal tertatih merayap penuh peluh dan kuyup airmata. Setapak demi setapak terlampaui dengan susah payah, tak lagi meninggalkan lega maupun rasa sakit baru akibat tancapan paku duri penuh karat. Semua ini hanya fatamorgana, tak sedikitpun nyata. Begitu juga dengan anyirnya merah darah, keindahan langit, warna-warni pengait, pelangi jiwa, semuanya. Satu-satunya hal paling nyata tak terbantah ialah airmata yang terus menggerus kuras seluruh isi dan membuat hitam kelopak kantung mata.
Lorong ini begitu gelap, sunyi, hanya suara desau bisikan angin menerpa dedaunan. Telah terlepas seluruh kepemilikkan, seluruh hal penghubung dunia nyata. Hanya selembar kain tipis pembungkus tubuh yang kurus ringkih yang tersisa. Hadiah dari seseorang yang berkata sangat menyayangi padahal tak lagi mengenali wajah hidup.
Mimpi-mimpi tentang naga, bidadari bersayap hitam dan lelaki pembawa gitar kematian yang membawa sampai ke perbukitan ini. Naga mengajarkan menyulut api untuk membakar kota kelahiran. Bidadari bersayap hitam mengajarkan tumbuhkan sayap untuk terbang melarikan diri walau tak juga pernah purna. Lelaki pembawa gitar kematian menjadi bintang penuntun langkah menuju pulau tak bertuan di peta langit.
Haus akan kalimat. Sejak musim lalu kata mulai diam dan sembunyi dalam karung kesejatian. Haus akan senyum hangat, dan mulai lepas dari realita tertutupi kegilaan. Sangat haus pada belati berdarah, atau pistol api, atau larutan pencahar jantung, sehingga tak lagi pelan-pelan sangat melambat derita terasa mengayun, pun mendamba lenyap seketika dalam kejap.
Sebentuk kantung semar menarik perhatian untuk didekati. Sedang menjilati lalat dan melahap cepat. Sesaat daksa menjelma kupu. Terbang diam-diam masuk ke mulut berlendir sang karnivora. Cairan kental menghilangkan kesadaran, menyelimut tulang rusuk menyerupai janin meringkuk dalam kepompong rahim. Namun tanaman durjana itu memuntahkannya kembali tanpa sedikitpun luka baru di sekujur tubuh. Hanya lendir-lendir bening kental berbau busuk menetes-tes dari tubuh.
Airmata pun membanjir membentuk danau. Pada air danau ia mulai berani bercermin. Serupa wajah kecantikan dewi memantul di bayangan air. Dewi yang terdandani biru balur luka sebagai pewarna mata, pipi, dan bibir. Dewi yang juga melumuri tubuhnya dengan perpaduan ramuan sayat, gores, memar dan juga merah darah. Tak ada keindahan lain melebihi pemandangan yang ia dapatkan saat itu. Ia mulai menyukai bentuk pantulan diri itu.
Lesap dalam air selama bertahun mendayung diri melewati asinnya genangan airmata sendiri, lekangkan kisahnya pada dongeng hidup seseorang, walau ia sempat meniada.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Nelangsa
Engkaulah,
Kecintaan teramat dasyat yang sempat dihadirkan wajah hidup di setapakku
Berhias rona-rona pesona jingga
Dalam ikatan benang kelam tak kasat mata
Kamu, meraja
Diammu..
Bekumu.. katup bibirmu..
Titipkan nelangsa buatku
Pendar-pendar bias maya yang turut lenyap melesap tiadakan paras angkuhmu
Kamu..
Dengan ketiadaanmu,
Melerai aku
Di batas itu.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Tak Bersisa
Denyut nadi melambat seiring dawai lirihnya
Aliran darah serasa memberat
Kutinggikan ia atas pola yang hampir purna
Penuh tikaman cacat dan cela
Namun,
Seketika hancur
Tak bersisa.
July, 2005
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Berai
Tiba-tiba sunyi
Ada gesekan lirih biola
Ada senyap di kedalaman raga
Ada bayangan serupa aku terperosot menukik ke jurang
Tangannya menggenggam bendera putih
…
…
Akhirnya,
Terberai jua.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
- Pelangi Hati -
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Cahaya
Bagai air yang mampu mengikis bebatuan
Bagai air hujan yang basahi bumi
Seputih awan cerah menggantung di langit
Seindah lembah di tengah ngarai
Sekilau mutiara
Bersinar secantik bintang
Sesejuk sepoi hawa pegunungan
Selembut jalinan pintal sutera
Sekuat tekanan gravitasi
Sekencang serangan badai
Sedasyat letusan galunggung
Sebeku salju Himalaya
…
Kalaulah dapat kujerat,
Kuingin kasihmu seperti itu..
November, 1997
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Kian Menjadi
Kuraih jembatan hati
yang tak lagi utuh untuk kusemat pada cinta
Melangkah rambatkan titian kasih
untuk kembali menjiwai ada
Maka tiada ragu yang membentang
Jika pun akan berbatas,
atau harus pupus pada kesudahan
Tetap akan selalu ada hangat di dada kiri
Menjadi dan menjadi.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Seperti. Cinta..
cinta ini atmosfir baru dalam kungkungan imajiku
merambah helai demi helai jerami untuk menjalin permadani suci
melepas sekian peluh dari pori-pori bumi untuk nafas baru ini
buatku tak ingin mengikatkannya terlalu erat
karena harusnya ini membebaskan
lalu ada percaya
bahwa matahari selalu terbit di timur dan kembali ke barat
roda kesetiaan sebelum datang saat berkumandang nyaring sangkakala
…seperti aku
…seperti kamu
…seperti kita
jika usia dan waktu mengijinkan kita tetap bersama
maka mari biarkan bias indah cahaya tetap sinari cakrawala nurani kita
lalu menyata getarnya di relung kita
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Malam
Malam, samarkan aku yang akan tenggelam dalam pekatmu yang sarat
Tepiskan gulana akan ketiadaannya yang kunanti dengan kesabaran
Hadirkan bayangnya terus dalam benak saat sepi melandaku..
Agar tak lagi kurasa sendiri memendam rindu akan dia yang selalu mengerti
Malam, aku reda dari luka lama yang menyesakkan
Berbahagia menyandarkan keyakinan pada langkah-langkah kepastian
Bila ada setitik ragu untuk sesak yang kudera sendiri,
Kumohon lengkapkanlah dengan hadir suaranya..
Malam, aku menyayanginya,
Entah mengapa.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Kemelut Jiwa
Tak ingin usai tanpa konstruk imaji
Jangan terhenti dan menghilang lagi
Tetaplah mengada senantiasa tuk damaikan kemelut hati ini
Rahasia alam yang mengajariku jajari lengkung pelangi setelah deraian sepi banjiri selaksa mimpi
Ajari aku bertahan arungi misteri hati
Karena nyata meraba-rasa di tengah pengadaan sejatinya alasan tak beranjak pergi
Jiwa, ternyata mati bernyawa begitu rentan untuk daksa berkendara
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Ajari aku
Ajari aku,
Untuk tidak mendogma satu kata keparat ‘cinta’
Agar tidak lagi tenggelam dalam gelung ombak ragu
Karena ia badai,
Bergemuruh menyapu setiap bentuk rupa
Karena ia badai,
Menggoyah pendirian akan warna-warni moksanya
Karena ia badai,
Mampu meruntuh luluhkan keakuan menjadi keping-keping makna sempurna
Dan karena akulah air,
Turut terbawa hanyut bersamanya
11 Feb’ 05
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Diam..
Bukankah berdiam
kadang lebih baik dari jutaan kata
yang tetap saja tak bisa mengungkapkan apa yang dirasa?
Maka
jika malam ini ialah malam yang baik untuk kita saling berbagi diam,
maka kelak sunyi ini adalah satu-satunya keterpautan
yang bisa bersama temani dan jembatani kita.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Tentang Aku
Beberapa masa begitu saja menerjang masuk kamar pertahanan.
Mendekati pintu, mengetuk, menunggu di depan pintu sampai pintu terkunci terbuka.
Tentang cinta, mencinta dan dicinta.
Tentang mata, menatap sayu berselaput dingin dan berkobar. Tentang bibir, mengatup mencerca dan menganga.
Tentang semua rantai kenangan di bijaksana yang semu.
Aku sedang belajar melepaskan.
Menjelma sosok baru menunggu isi.
Berharap tak ada tanya lagi tentang cinta, senyum, tawa dan luka yang telah kutinggal mati di sudut kaku katup laut relung.
Melarung di tengah lautan ingat.
Sadari hiasan diri telah dilerai dan setiap rasa tak lagi akan menyentuhku.
Hanya ada dikau, lelaki..
Hanya ada bayangmu terlelap mempesona kala pejam matamu mengurai bentuk mimpi-mimpi tentang pagi yang menguntai embun sejuk di kedalaman jiwa.
Sertakan bunga penghangat batin.
Sudahkah kuucap betapa ingin kukecup keningmu untuk apapun yang ada di pikirmu?
Sudahkan kukatakan betapa ingin kupeluk lapang punggung sepimu yang kosong mendingin dan eratkannya dengan sepoi waktu saat bersama aura lembutku?
Tentang betapa ingin kulumat sorot tatapmu yang badai dan bisik suaramu yang maut?
Hanya ada dikau, lelaki..
Katup semesta dalam inginku mengenali.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Di penghujung Senja Basah
Kau melihatnya..
Cahaya hati yang kau cintai begitu purna.
Kau menunduk sembunyikan pias merah jambu ketika melintasinya
Tinggalkan ia yang tergelak tawa.
Entah mengapa..
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
M a s i h k a h ?
Masihkah berbinar sorot mata yang sempat hujamkan belati dinginnya ke ruang terdalamku, hingga membuatku sedemikian terpesona tanpa mampu mengenyahkannya?
Masihkah tergetar katup bibir tipis merekah yang sempat melemparkan embun kata-kata nan mampu tenangkan badai di kota jiwaku?
Masihkah berpendar warna-warni aura jiwa yang masih saja sempat memaku mataku untuk nikmati pesona keindahan yang tetap sedemikian tak terkata oleh seluruh keterbatasanku?
Masihkah kentara liarnya kembara yang menapaki sekian lintasan-lintasan untaian kabut perantara bumi dan langit dalam keagungan angkuhnya sikap dan tutur bahasa?
Karena aku mencintai itu semua,
keseluruhannya..
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
… … … ...
Kau tahu?
Aku sibuk menata hati agar rindu ini tak lantas menjadi api yang bisa membakar diriku sendiri apalagi kau.
Aku sibuk membatasi pikir agar apa yang terlintas tentang kita tak lantas jadi bara yang akan melukaiku juga kau.
Aku sibuk melafal doa agar segala yang ada di antara kita berdua tak lantas menjadi noda dan tetap pantas mendapat keridhoanNya.
Seketika aku terserang gigil karena dinginnya cemas ini.
Aku jatuh cinta pada mahlukNya.
Semoga cinta ini tak lantas memisahkanku dari kau.
Semoga kita cukup pantas menapakinya.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Kamu.. teristimewa.
bukan jejak langkah kita yang akan menggerakkan pena untuk bercerita tentang sekian tawa yang ada. bukan pada langit kusandarkan harap tentang keindahan-keindahan suara jiwa. bukan.. bukan pada itu semua. pada sesosok siluet kupatrikan paku untuk menatap dan terus menyisakan berkas sinar yang tak mati. pada setitik embun kuluruhkan asa biar menggelincir tak kembali, yang pada akhirnya akan hilang terserap bumi.
kita bukan semesta. bukan pula langit dan bumi. bukan pendar-pendar corak pelangi seperti yang dulu pernah kuisyaratkan pada satu lembar kenangan dimana hari yang terik tidak terasa begitu pengap, dan langit yang menangis deras tak terasa memilukan. kita hanyalah jiwa-jiwa penggagas badai dan api, penghembus udara kejujuran, dan pengurai kalimat sakti kenyataan. memang kita hanyalah wujud anak-anak yang disetubuhi alam, senantiasa menghirup nafas untuk terus menggelayutkan asa tentang apa yang pernah kita percaya mampu menghidupi nyali dan jiwa. namun tetap saja kita kerap mencari lentera, sebagai penerang kegetiran dan penawar racun ketersisihan.
itu sebabnya begitu sulit melepaskanmu terbang bebas. itu pula sebabnya masih kukaryakan bingkai hati lebih dari separuhnya untuk tetap menyilangkan hati pada yang lain. maka seketika dimana nyawa-nyawa ternyata tengah terlelap menggerayangi tubuh-tubuh indah berbalut selimut mimpi, aku justru kesakitan merasai sekian bilur penghias tubuh, menyaksikan kepergianmu sambil menyemai garam cuka pada setiap luka yang menganga.
aku mencintaimu... bahkan jika kau hilang sekalipun, aku akan tetap bersedia setia mencintaimu. hanya saja, keabstrakan pribadi menjadikanku gamang mengayunkan langkah. dan cerita mulai berkisah... panjang tak henti. aku hanya mengerti bahwa hatiku telah memilih siluetmu untuk kusayangi sepenuh hati, kucintai lebih dari separuh hati, kutunggu tanpa tahu kapan waktunya akan berhenti. bukankah dalam diam selalu saja ada bisikan yang berisik bergumam tentang apa sebenarnya keinginan naluri dan kata hati?
maka, inilah aku.. di sini.. mulai menikmati keadaan yang justru belum menyurutkan ikrarku untuk menggaris mimpi di prasasti baru yang sedang berusaha kubangun dari mimpi-mimpi. semoga aku takkan kehilangan kesempatan untuk terus memimpikan mimpi-mimpi.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
kesunyian di sorot mata
terpancar kesunyian di sorot mata. sembunyikan jiwa yang meminta dekapan, bukan depakan. teduh, menghujam, membius, namun juga memilukan. anehnya, satu jiwa terpesona. sedemikian dalamnya hingga nafas yang sesak pun tak terasa menyiksa. begitu terpaku, hingga hati yang berdarah karena tusukannya pun tak terasa perih. sepasang mata itu menyembunyikan kelelahan. berbaur dengan jernih air kaca ketenangan telaga. pancarannya sedikit berbinar. berbahasa. dalam diam, yang diam-diam. Seorang perempuan tersihir mencandu pancarannya. terlalu menginginkan pandangan mata itu tertuju padanya. sedetik, yang mampu sembuhkan segala luka. sedetik, yang tak perlu berucap apa-apa. sedetik, namun membuka layar ketenangan yang sungguh luar biasa.
perempuan ini ingat, masih saja mampu mengingat, bahwa pemilik sepasang mata itu yang pernah menghancur-luruhkan semua keakuannya. pemilik mata itu yang pernah membumi-hanguskan lingkar pijakan tanah di dunia yang menyelimutinya. pemilik mata itu juga, yang dengan sederhana telah membuka layar kesadaran dalam kebutaan menahun akan purnanya bentuk cinta yang bisa diwujud-kembangkan.
perempuan ini pernah dipatahkan sayapnya. perempuan yang tidak pernah mampu menjadi cukup sempurna di hadapan lelaki pemilik binar mata yang indah itu. ya, perempuan ini, yang bertahan pada keyakinan yang sama akan kekuatan perasaannya. hari ini tiba-tiba tak lagi nelangsa. hanya senyum dan senyum yang menghias air mukanya. membuat semu merah jambu memenuhi setiap titik dari pancaran aura dirinya. keterpesonaan lagi-lagi membungkuskan hati pada sarung pedang bernyawa. sejenak tergelepar, lalu menggetar datar. terus-menerus dalam ritme keheningan yang memekikkan sunyinya bunyi malam.
perempuan ini, menanti pemilik mata indah itu untuk melihatnya. bersatu dalam jalinan putih yang dilingkupi ridhoNya. sampai suatu waktu dimana detik-detik keindahan terhenti, dan masing-masing mulai beranjak tinggalkan bumi setelah memadukan hati dan jalinan mimpi.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Semoga
Langit memendar cerah kembali
Ia jauh di sana
Bersenda gurau dengan alam merengkuh ketenangan
Kulihat birunya berbaur dengan awan
Tak lagi menggumpal,
Hanya memendarkan..
Semoga hanya bahagia yang senantiasa tersandar padanya
Agar hitam tak lagi menelungkupkan getar nyawa
Semoga ketulusan dan keikhlasan senantiasa di kedalamannya
Agar ia tetap ingat untuk belajar tertawa
Karena ialah musim terindah penyisih duka lara hati
Karena padanyalah kebijaksanaan beranak pinak terlahir
Karena ialah angkasa pelindung keinginan lugu
Untuk mencinta dan dicinta..
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Berlembar Kenangan di Laut Ragu
Kukayuh sampan hidupku di lautan kenangan akan keindahan cinta yang pernah kita terakan pada satu sudut masa lalu. Menikmati semilir sejuk hembusan nyanyian angin, resapi lantunan puisi yang kerap kita bagi di wajah-wajah alam. Sebarkan pandangan pada setiap titik-titik kejauhan yang menangkap bagian-bagian sisa tawa kita. Rasakan degup beriring di dada kiri di mana darah serasa berdesir kian hangat. Kala sejenak kulepas dayung ke luasnya kembara, karena seketika aku ingin berhenti mengayuh dayung, sejenak ingin lesap dalam hening dan hayati nyanyian batin yang selalu menyebut tiap suku kata dari lekang namamu.
Adakah yang masih tertinggal sekedar lengkapi kesunyian ini?
Aku ingat kita bernyanyi bersama diiringi lincah petik jemarimu pada senar gitar. Ketika kau dengar laguku berdendang syahdu memerangkap jiwamu dalam keteduhan nuansa asa. Kau dengar suaraku sambil merasai sakit yang mengiris-iris kalbu dengan tajam sembilu nada-nada yang siap mengkristal. Ketika kita berbaring berhadapan sambil memandangi wajah keindahan sambil mengisahkan cinta sejati yang terperangkap dalam kesenduan dalam hati masing-masing, menempelkan jemari-jemari dingin di pipi, saling memandang ketidakberdayaan melawan kasih sayang yang terlanjur menjelma besar dan kuat. Ketika kau ungkap ketakutanmu hadapi kekuatan dan kelemahan perasaanku, dan membuatmu memutuskan melangkah menjauhi hidupku. Ketika kita berbisikan menguntai cerita-cerita keriaan perjalanan hari. Pun ketika kita duduk bersandingan di pelataran muka gedung saling bersandar dan tertawakan kebodohan dan angan-angan muluk yang selalu tersadari hanya jadi gumpalan awan mimpi di keluasan langit dan bumi.
Adakah masa akan berbaik hati mengijinkan aku melalui semua itu kembali suatu waktu nanti?
Aku mencintaimu. Sampai di detik terakhir kuhembuskan karbondioksida dari sekujur tubuh.
= >>>>>>>> ~~~~~~~~ <<<<<<<< =
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
kau lihat?
mentari sedang menenggelamkan diri kembali hari ini, kemudian malam akan menjejal langkahku menuju peraduan lagi. aku memipir tepian harap dengan bayanganmu di kepala. mengingat pesan-pesan pendek sebagai sapaan hangat yang kuharap masih terus mampu kuatkan jiwa.
tahukah kau?
bahwa kau masih saja yang teristimewa..
walau sekejap hadir di tengah gulana dan lenyap di tengah gerimis.aku masih ingin menari seiring merdu alunan ombak sejarah yang senantiasa pasang surut. meski membuncah dan pecah di karang, gelombangnya tak pernah mati. lalu kau, semoga masih juga mendayung kapal kehidupan di pelayaran kembara. sampai kau temukan temali, satu jangkar, dan dermaga untuk berhenti menepi.
aku takkan memotong langkah, apalagi membangun dinding tuk pisahkan keindahan dan kekuatan. aku akan sangat menghargai, jika nanti kau masih bisa mengingat kesemuaan ini.
kemudian kau pun akan mengerti sendiri, bahwa dengan tidak percaya pada orang yang menyayangimu adalah bentuk pengkhianatan yang selalu kau kecam sepanjang lentera masih menyala.
dengan ini pun, kita.. akan menyimpan potongan-potongan kepingan itu semua.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Ruang Biru
Aku melihatmu
Di salah satu sudut ruang biru kelabu
Berjalan sejajari mimpi indah yang kau buat untuk rumah masa depan
Menapaki jalinan waktu yang sediakan bahagia bagi angan untuk kausenyumi
Ada pelangi,
melengkung jembatani naungan langit senja
Dan sesosok bidadari mengajakmu menari dialun moksa genangan warna
Lintasi alam duniamu
Tampak seulas senyum merekah hadirkan merah jambu di lembayung tudung langit
Lengkung manis tak terperi
Aku melihatmu,
Tanpa mampu berkedip lagi
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Lagi
Kuhirup dalam-dalam udara memenuhi dada.
Penuh.
Lagi.
Hhh!!
Kuhembus sekian ton karbondioksoda yang tercemar racun-racun ingatan.
Hhh…
Pagi telah datang lagi.
Fajar telah menyapa lagi.
Mentari telah mengintip menagih senyumku lagi.
Lagi..
Lagi..
Dan lagi.
Satu hari yang luar biasa.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Satu yang tak berubah
Waktu telah mengubah hampir seluruh bentuk kenangan
Telah hilang semua sisa-sisa jejak kenangan
Dimana kita pernah mengukir potongan masa bersama
Semuanya telah berubah
Kecuali satu hal,
Cintaku..
Desember 7th, 2006
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
- Mutiara Hidup -
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Mentari Jiwa
Kini tiba saatnya kau bangkit ke beranda
Tengoklah kuntum-kuntum merah jambu, ungu, putih dan lembayung
Mungkin sedang merekah
Mendekatlah,
Kemarilah lebih dekat
Tengok kuntum matahari,
Itulah dirimu yang sedang belajar mengikuti binar cahaya
Petik dan letakkan dalam bening wadah kristal
Biarkan pancar hangatnya menyelimuti sekitar
Karena itulah engkau,
Matahari itu..
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Untuk Sahabat Jiwa
“Sahabat, masihkah kita bisa menggapai mimpi kesejatian untuk melangkah bersama di negeri-negeri yang hanya terpeta di langit?
Masihkah kita akan sempat menemukan waktu untuk berpadu dalam kesejatian dan kembali menyusuri setapak yang sama?
Masihkah kita akan sempat menunjuk satu bintang dan menatap pendar bulan sabit yang sama dari kejauhan?
Masihkah suatu masa kelak kita akan saling kembali menemukan?
Masihkah nanti terlukis aku dengan bingkai yang sama di sejarah kenangmu sambil senandungkan lagu-lagu melankolis layu dari rangkaian pesatnya kedatangan dan kepergian?
Aku masih menyayangimu, walau dari kejauhan.
Kurasa kita takkan pernah tahu apa yang akan terjelang di hari nanti sampai kita mengatakan,
‘embun bersinar bukanlah cahaya sempurna yang menyegarkan di pagi hari,
namun ia cukup menghapus dahaga kering bertahun yang lamat-lamat menghantui,
menyergap hingga hampir menyerang nyawa’.
Semoga kelak, jika tersisa waktu untukku bisa menemukan wajah hidupmu di bawah rinai gerimis yang syahdu,
atau di bawah rindang dedaun-pohon yang menyelipkan binar sinar mentari,
atau di dalam rumah-rumah keabadian dan kemansyuran hakikat hidup yang berkelindan lindungi kening pikir,
atau dimanapun,
aku masih sempat menggaris seuntai senyum,
membagi tawa lepas, dan tangis haru.
Karena masih bagiku, menemukan setelah kehilangan lebih berarti daripada kebersamaan sarat hampa.”
>>>> <<<<
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Pengembara Semesta Teristimewa
Keriaan telah pergi sejak sepotong jiwa berteman terlampau erat dengan hujan lebat. Membawa uraian kisah tentang dongeng langit kelabu yang masih melindur dapat merengkuh hangat. Sedang para kekasih telah pergi menuju alam tak teraih. Tinggalkan senyap dalam batin sebagai penuntun menghalau hujaman pedang sang hari. Sepotong jiwa berkelana mencari-cari asal muasal datangnya sinar. Menyusuri lorong panjang serupa ular, sambil berkali-kali sebutkan puji-pujian keEsaan. Menekuni gelap, sambil menggelar sajadah. Melesapkan imaji yang tergambar di benak, ungkapkan niat dengan ucap-ucap sunyi. Ialah jiwa yang mengembara setubuhi alam dengan nafas ketuhanan. Ialah sepotong jiwa yang berhenti berkelakar tentang bumi dan mulai lindap dalam pertapaan panjang. Mengkaji, mengurai dan mencerna setiap maksud setiap peristiwa, sambil diam-diam terbangkan sukmanya menuju jalan-jalan kesejatian. Ialah yang mengenalkan sepotong jiwa lain akan bahasa kepulangan. Bahasa ikhlas dengan segumpal daging bernama hati. Ialah jiwa pemberani yang menyongsong sang hari dengan ikhtiar tanpa henti. Bergumul dengan suara batin sendiri, melawan sepinya malam panjang dalam hidup. Serangkaian penantian akan sesosok nyawa sekuat jati terus-menerus ia lantunkan. Bermandi air kendi hasil kumpulan tadahan hujan-hujan doa yang disimbahkan langit sebagai jawaban kesetiaan. Ialah sepotong jiwa yang berniat akan bercinta dengan warna-warna keindahan senja. Mengurai makna fajar saat malam mulai beringsut mundur. Sepotong jiwa itu duduk di bawah rindang dedaunan pelindung daksa. Terpekur batinnya tekun bertasbih, menyingkap arti berani dan melawan gelimang luka di lintang sejarah. Ialah utusan sang Maha Segala untuk kembalikan arti rumah ke jiwa sang pecinta. Ialah jiwa teristimewa.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Seorang Pelarian dengan Bungkusan Kenang
Terlintas satu kisah tentang perempuan pelarian yang pergi dari kecintaan menyakitkan dan meninggalkan kampung halaman sambil menyimpan bulir-bulir airmata di kedalaman. Ia terbang menuju negeri antah berantah berkereta kencana melesat lepas bebas tanpa pelana maupun tali pedati. Berdiam di stasiun pada suatu pagi berteman cercahan berkas sinar mentari yang menyorot tegas ke lantai harap dengan potongan-potongan gambar yang tertayang tanpa kendali. Duduk di jutaan gelimpang kenang, sambil mencacah setiap serpihan luka yang terhambur ke luar rel kereta.
Takdir telah menjauhkan wujud cinta menjadi bayang kecil yang terantuk batu kali di pinggir jalan. Menghantuk terlempar dan berpantul sekian kali hingga tibalah di sebuah tepi sungai sepi bernama kenyataan. Di sanalah ia berdiam, dengan wangi-wangi baru hadiah luka, dan renyah gurau tawa hadiah keindahan dunia, bergelimang sembab airmata di awal-awal setapak yang menginjak ribuan kerikil-kerikil alam.
Ia masih saja kerap mengingat bayang tercinta. Menyertai setiap ingat dengan jutaan semoga dan semoga untuk tempatkan bahagia di sela-sela nyatanya perpisahan mereka. Masih saja berbaring resah gelisah menyikapi pendaran sejarah yang menggambarkan keberadaan sang jiwa tercinta sebagai momok kerinduan yang menakutkan sekaligus mengendap sedikit harap cemas. Berkali menghembus nafas berat ke udara, menghambur senyum penuh makna dan kerlingan mata penuh rahasia.
Masih ingin ia bertahan mengingat walau ribuan penyerang kenang telah dengan keras ia hempas ke sisi pinggir keberadaan. Hingga tak juga terlelap di malam hari. Hingga suara-suara penenang tak lagi terasa menenangkan. Hingga kalimat embun tak juga memberi sejuk yang melegakan.
Ingin ia pulang ke rumah kebahagiaan di mana hamburan tawa-tawa pencerahan mampu menentramkan jiwa sebagai antiseptik penyembuh luka. Ingin ia menghapus luka bakar di hati dengan siraman dingin kalimat sakti dewa-dewi penjunjung langit dan kepasrahan ikhlas tiada habis. Selama ini, cinta masih saja memilih satu jiwa untuk disandingkan di sebelah hati. Masih dia, belum juga berpindah.
Itulah keinginan tak kunjung padam seorang perempuan pelarian dari negeri penuh luka ke negeri di mana senja tak seindah merah keunguan senja-senja lain di tempat asalnya. Harap-harap panjang yang tergelar jadikan sekian rangkai kisah tak lagi hanya berupa jalan lurus panjang yang membosankan. Di sinilah ia, berbaring menelungkupkan dua telapak tangan, atau sesekali menyatukan sepuluh jemari di sisi samping kepala, sambil merangkai mimpi indah yang belum bisa di kembangwujudkan.
Ia tak dinamai pecinta, namun bisa saja belum ia sadari benar bahwa sesungguhnya ia juga pecinta yang biasa melangitkan doa-doa untuk bahagianya dan orang yang dicintainya. Semoga..
*****
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Kisah penjaga gerbang kuasa
Bulir-bulir doa mengentaskan pikir pada tujuan alami untuk terselamatkan. Begitu banyak gerakan tak nampak berkelindan menyerang dari seluruh sisi pengadaan. Namun belum tertera pula satu nama menetap sisakan jejak penanda kehadiran. Satu pertapaan jiwa belum juga kelar dapatkan binar cakra, tetap harus digenapkan.
Ada yang berkata kecemasan datang dari prasangka-prasangka akan sesuatu yang belum tentu terjadi. Satu tangan yang mengulur tawarkan belas kasih dan pertolongan, juga disertai sebelah tangan lain mengepal di belakang punggung.
Pohon-pohon berbisik ikuti gemuruh nyanyian semilir angin. Mengabarkan kisah sang penjaga malam dengan jubah hitam kebesaran yang berdiri tegak di depan sebuah gerbang kekuasaan. Dalam kisah itu, kadang ia menahan gigil penyerang tulang dalam malam-malam kesepian.
Sementara hanya purnama kawan bercanda dengan kerling mata begitu genit menggoda. Dalam bersendiri dan menggenggam pedang kekuatan, ia tetap tegak berdiri di titik sama dengan kerinduan menyesak akan satu mahluk paling istimewa di nyata hidupnya. Mahluk penggembara yang sekali melintas tinggalkan jejak cahaya keemasan di tanah-tanah dingin yang senyap. Sesosok mahluk penuh misteri dengan semua keindahannya.
Ia pernah berdiri beberapa jengkal dari pijak telapak sang penjaga, menyebarkan wangi melati dan lily ke segala penjuru taman kastil, diam menatap lembut ke cekung mata penjaga gerbang. Bibir ranum mungilnya lantunkan nada bahasa yang tak ada di bumi. Bahasa yang tidak ia mengerti namun sangat indah merasuki gendang telinga. Lalu mahluk itu tiba-tiba bergayut pada setangkai dahan mawar, meletup terkena duri dan lesap ditelan malam sunyi.
Jika segumpal darah bernama hati pun berkelamin seperti lelaki dan perempuan, maka hati sang penjaga pada malam itu menjelma perempuan yang gundah hingga pecahkan tangis diam-diam. Hingga malam ini sang penjaga masih kentara hanyut dalam magis sinar tatap itu, terhipnotis alunan nada yang asing itu.
Dia yang selalu diingat, tak pernah hilang dari relungnya.
>>>> === <<<<
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
catatan waktu luang
suatu hari kau lari kehujanan dan basah kuyup tiba di rumahku.
gigil mengelu getarkan biru kedua katup bibirmu, membisikkan pinta padaku untuk bersedia nyalakan api di perapian.
coklat hangat masih mengepulkan asap ditemani potongan bolu lembut yang baru diangkat.
kutuntun kau menyeruput dan mengulum kehangatan penganan sore yang kemalaman.
kutemani engkau berbagi diam berlama-lama duduk tanpa suara kecuali bunyi percik tetas kayu lembab yang terbakar.
kupapah tubuh lelahmu naik ke peraduan.
kita mengadu benak untuk setubuhi wangi udara dan merenangi lautan ingat.
satu dayung dikayuh berdua.
megap-megap penuh peluh dan sekujur penuh semu memerah.
asap menguap, dan api padam.
subuh itu matahari menampakkan wajah.
embun di pucuk daun lesap ditelan cahaya hangat.
kau terbangun sadarkan diri dengan sesal.
berlari terhuyung memburu resah batin untuk segera pulang mencumbu keindahan magis di rumah.
berkeras melangkah seribu tuk hilangkan bayang paras pemberi wangi surga sekejap.
dia yang mampu mengurung rasamu untuk kembali bersua.
dia yang terkenang di hatimu sebagai potongan kisah paling indah dan istimewa, yang membuatmu kehilangan diri beberapa saat dan temukan nirwana dalam dekap.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Lembaran-lembaran puisi
Serangkaian puisi yang pernah digelar bersama di malam-malam buta,
Telah menebar dan lambungkan angan jauh ke awan
Ada rindu yang tertatih menanti selimut kalbu datang menghangatkan.
Entah itu darimu, atau kekasih lain yang bersedia menepi.
Peluhmu menguatkan ingat pada satu perjalanan senja ketika akan pulang ke kota kelahiran.
Ada satu kalimat mesra ketika ia memilih menghilang dari cerita yang baru saja tersulam.
Bukan dogma, apalagi hujat.
Adalah kalimat menahan kepergian yang sarat rasa dan asa
Untuk bersedia terus menemani, sampai waktu yang tak mungkin dipatrikan
Berulang kali begitu jauh kau coba sembunyi dari pias kerinduan batinmu sendiri akan hadirnya yang begitu bersedia merangkum semua bentuk pilu dan gelisah,
Bahkan ketika kauumbar segala bualan-bualan maut, ia tetap bersedia mengerti untuk mendengarkan ocehan yang ia nantikan akan bermuara pada satu bentuk kejujuran
Namun kau tetap saja memilih datang dan pergi sesuka hati.
Mengesampingkan hatinya yang gamang terayun gelombang keraguanmu di tengah badai percaya dan tidak percaya.
Padahal kau pun menyayanginya.
Padahal kau pun membutuhkannya.
Kini ia tak lagi bersedia mendengar segala luapan jiwa, apalagi membantu hadirkan bulir embun untuk kering dahaga
Ia memilih pergi dan menangis memendam pedih yang kautoreh di batinnya.
Maka telahkah kautemukan damai itu, di kedalaman sendirimu selagi semua orang menunggu pintumu kembali terbuka untuk bertegur sapa?
Atau hanya akan ada gunung tinggi menjulang bertudungkan beku salju tebal yang siap membenamkan harapan insan yang tulus menyayangi dan menghargaimu..
Lembaran puisi pun tak lagi kaujaga, terbang dihempas laju cepat roda kereta.
- 9 maret 2007 -
[03 :35]
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~