Monday, April 2, 2007

catatan-catatan...

April 1, 2007

Tidak kusangka aku mampu melompat dari tepian tebing yang pernah hampir menjerumuskanku pada arus deras air sungai kecintaan yang terus-menerus menggerus jiwaku untuk mabuk dan terhuyung tenggelam. Aku melompat, ke aspal dingin yang terhampar di seberangnya, dan tak lagi tertatih-tatih dalam lorong panjang bisu yang penuh dengan batuan kerikil tajam, undakan liat tanah yang lembab, juga semak-semak berduri yang melukai. Aku berani melompat, karena aku inginkan hidup yang sama seperti semua orang. Tidak hanyut terkapar dalam mimpi semu tanpa ujung, tidak timbul tenggelam dialun romansa magis yang semu, tak mati berujung asa tergantung yang lupa dijemput. Satu ingin sederhana yang menguatkanku, aku ingin bahagia. Aku ingin mencapai bahagia dengan satu jalan kenyataan yang tidak lagi mengambangkan anganku pada ketiadaan.
Lalu aku mulai mengusung langkahku menyusuri hari dengan rasa-rasa istimewa yang baru. Ada serangkaian lagu yang mengingatkan pada kebersamaan yang manis, ada lantunan nada yang bersama dinyanyikan dengan semu merah jambu, ada kalimat-kalimat yang terbagi dengan begitu tepat dan ranum terasa di permukaan jiwa. Ada sandaran baru yang empuk untuk hati melompat-lompat ceria. Ada wadah baru untuk menampung semua kegundahan dan kebahagiaan tentang asa. juga ada kejujuran yang lugu dalam semua sikap dan bentuk muka, untuk tetap saling memberi arti dalam episode penggalan-penggalan waktu yang dijalani.
Aku merasakan getar itu. Aku merasakan hangat itu. Walau tidak dengan dentuman maha dasyat yang memorakporandakan bumi pijakkanku, namun justru getar ini menghadirkan ritme kedamaian pembawa embun tanpa kata. Lalu aku mulai percaya. Bahwa aku dan dia akan lebih baik begini adanya. Sama-sama menyapu debu gelisah akan cinta yang dipertanyakan keberadaannya, sama-sama berdayung di satu sampan dengan berhati-hati tidak gerakkan badan agar tak basah oleh genangan air berhektar-hektar, sama-sama merenung dalam satu harap yang sama agar diberikan kebaikan-kebaikan berdua, dan sama-sama menyisir helai daun waktu untuk pengembaraan berdua selanjutnya.
Bukan berarti aku telah melupakan apa yang pernah melekat dalam jiwa dan raga sebelumnya. Tentu saja aku masih mengingat jelas semuanya. Namun biarlah saja semua itu menjadi kenangan yang manis untuk diputar-ulang, tanpa usaha untuk kembali menggapai apalagi berusaha memeluknya menjadi milikku. Aku masih ingat jurang itu pernah begitu dalam dulu. Kini, harus kuakui, dengan kejujuran yang telah diungkapnya, sekali lagi dalam hidup, aku merasa terselamatkan.
Memang ini selalu saja demi alasan egois. Bahwa aku menjauh dari hidupnya tepat di saat ia mulai melayang diayun gelimang bahagia akan adaku kembali di hari-harinya, di saat dia mulai mencerna semua arti hadirku di hidupnya, ketika ia mulai hanyut dalam romansa cinta tak kunjung padam di hatinya, semuanya demi hatiku semata.
Aku memang bersalah. Karena melukai hatinya yang tiba-tiba remuk redam mendengar kalimat yang kuucapkan. Karena menggores sembilu buluh perindu, setelah sekian malam-malam magis menghadirkan senyawa batin akan harap bersama yang kucetuskan. Karena sekali lagi, aku hadir di sela-sela lelahnya menghadapi hari, dengan tawa, celoteh-celoteh penuh makna, rasa bahagia berdua, dan rindu bergejolak yang mendidih menagih janji bersua.
Nyatanya, aku telah memilih berhenti melangkah di hidupnya, berucap mengundurkan diri dari kesehariannya, dari hidupnya, dan dari dunianya. Serta merta, lenguhan lemah yang pernah tersuara di ujung sana sewaktu sebelumnya pernah kupertanyakan keikhlasannya, mewakili bayangan kehampaan batin jika itu terjadi padanya. Aku sempat menitikkan airmata ketika mengingatnya, namun aku telah meminta diri menjauhi semua titian mimpi di semestaku dan semestanya.

quote:
waktu untuk pergi,
sebab senja telah usai dan matahari selesai menyembunyikan diri dengan sempurna,
akan kupunguti setiap perca kenangan yang berserak
antara masa lalu dan kini pasti meninggalkan bercak
kadang kelam, mungkin menyilaukan, sering juga menyesatkan.

aku akan pergi,
sebab lagu telah menjadi usang,
dan bait-bait sajak kehilangan takjub terkalahkan gemilang sore
akan kutata kembali susunan sebentuk hati
dari keeping mozaik yang kuyakini beterbangan antara debu, desau angin, gulungan ombak
sesungguhnya, saat malam paling gelappun, bayangmu selalu ada.

aku pergi,
sebab telah berakhir tugasku memetakan jejak di hidupmu,
waktunya untuk menghilang,
sebab langitmu akan dihiasi gemerlap bintang-bintang
dan senja sungguh tak mampu meronakan warna di antaranya

dan pergilah aku,
tanpa lambaian tangan, tanpa kecupan selamat jalan
sebab perpisahan memang tak perllu kata-kata “jangan lupakan aku”.
-meli indie-


17 things that always reminds me about him..

1. dia mencintaiku dalam hatinya
2. dia akan mengingatku sepanjang hidupnya
3. dia peduli padaku dan sempat berusaha mewujudkan impianku
4. dia orang pertama yang mencintaiku, tanpa pernah mengatakannya, yang pernah bertanya: “apa impianmu?”
5. dia orang pertama yang menjejakkan panggilan “aku-kamu” terasa begitu tepat diucapkan
6. dia orang pertama yang ingin melukisku
7. dia orang pertama yang pernah membuatku siap menghadapi apapun untuk tetap bersama
8. dia yang lebih memilih diam ketika aku menyayat hatinya tanpa satupun sumpah serapah terujar di bibir manisnya
9. dia yang pernah dengan jenaka menikah di usia belia
10. dia yang sempat tak bisa melepasku pergi menjauh dari hidupnya
11. dia yang ternyata benar-benar masih mengingat apa yang pernah terjadi antara kami berdua, mengingat semua tentangku, dan semua yang sempat kuucapkan
12. dia yang masih menyimpan semua kenangan tentangku di ruang kecil istimewa memorinya
13. dia yang akhirnya berani jujur mengakui semua yang ada di hati dan benaknya
14. dia yang sempat mengenal hatiku untuk disandingkan di sebelah kamar hatinya
15. dia yang pernah merasa cocok ketika kami bersama
16. dia yang terluka karena harus menghadapi keputusan perpisahan yang kuucap lima detik setelah kami saling berbagi tawa
17. dia.. yang mungkin masih juga bertanya pada takdir, apa yang terbaik bagi kami berdua?

Note: Mengapa 17?
Karena ini adalah angka keramat dimana setiap peristiwa pernah terjadi pada kami

berdua.


Bekasi, 25 Maret 2007

Suatu saat, kau akan ingat alasan mengapa aku memilih pergi. Bukan karena tak lagi kutemui ketenangan jiwa saat menetap di hatimu, bukan pula karena aku kehabisan puisi untuk tetap menyanjung karena aku sangat menyayangimu.

Kau tetap badai yang api bagi hidupku, walau kini aku memilih menyejarahkanmu di salah satu bingkai masa lalu. Dan kurasa, bukan karena tak cinta pula jika akhirnya kau memilih tidak mengacuhkan kepergianku yang tiba-tiba.

Kisah kita memang begitu indah. Bahkan tak jarang keindahan itu menyayat hati sampai berdarah-darah. Bahkan juga seringkali ledakan di dasar jiwa menyisakan hampa yang menyiksa di rongga dada, seolah paru berhenti memompa udara ketika badai memorakporandakan kekacauan batin kita.

Penantian lima tahun terjawab dengan satu anggukan lemah, dan bisikan kata yang parau. Telah selama itu pula kenangan selalu menyeret aku, menyeret kamu, keluar masuk titian setapak yang tak nampak ujungnya. Sekian kali muncul tenggelam hingga jiwa kita begitu kepayahan menghadapi alur yang kian lama kian panjang terulur ke depan, tanpa jelas mengarah kemana. Sekian kali terhanyut suasana magis setiap kali perbincangan hangat menyelimuti kita dengan angan-angan muluk untuk bisa bersama. Selalu berakhir dengan kenyataan yang tetap tak berubah, bahwa itu semua sekedar mimpi tingkat tinggi yang harus kita bayar dengan sangat mahal, yang kemudian mendamparkan jiwa kita di salah satu pulau entah, dimana di sana kenyataan tak mampu mengguratkan sisa jejak langkah dan alunan sendu kisah kita berdua.

Aku bosan mengambang di awang-awang. Aku ingin berpijak tanah dan hadir nyata di mata semua orang. Aku butuh pengakuan tentang kebersamaan. Aku inginkan perjalanan yang menghadirkan kisah sederhana, aku tak lagi menginginkan impian-impian semu kita berujung nyata. Karena semua inilah, aku memilih pergi.


Bekasi, 23 Maret 2007

Aku sudah ucapkan kalimat itu, sayangku. Aku akan benar-benar mundur dari hidupmu kali ini. Tak perlu ada tangis, tawa, jeda, apalagi duka memang. Berpura-puralah menganggap ini seperti yang telah pernah terjadi sebelumnya. Walau kita sama-sama tahu ini berbeda dari semua yang pernah ada.
Aku memilih beranjak pergi setelah kaukatakan merelakan aku bersama yang lain. Merelakan jika pada akhirnya aku tak bisa menunggumu lagi. Aku ingin hidup sederhana, sayang. Aku ingin menjejak nyata dan disayangi hingga akhir usia dengan tetap bersama.
Maafkan aku..
Walau apa yang kutuliskan malam ini takkan pernah sampai di hadapanmu. Aku akan berjalan dengan orang lain yang sungguh menyayangiku dan telah melakukan banyak hal untukku. Ada kesungguhan dari sekian waktu yang terbagi antara kami berdua. Aku hanya butuh itu saja sekarang. Seseorang yang menyayangiku, secara sederhana, dan membuatku cukup nyaman dan percaya.
Maka sebaiknya kita memang tak pernah bertemu lagi sampai waktu yang tidak bisa kita tentukan. Sampai nanti, kelak, suatu hari, dimana hari kembali mengingatkan masing-masing kita akan hutang yang pernah kita pinta di masa lalu, yang mungkin jika saat itu tiba semuanya harus telah terbayar lunas dengan kesungguhan kita menjalani hidup dari detik ini sampai seterusnya – dengan tidak membiarkan masing-masing diri terus hanyut dalam romansa semu belaka.
Aku hanya benar-benar ingin berhenti berharap padamu, berharap pada apa yang pernah kuyakini, dan memilih berhenti terus mengejarmu yang semakin lama kurasa akan semakin terus menjatuhkanku ke jurang kecintaan kian pekat. Aku tahu kamu sangat menyayangiku. Biarlah kenyataan itu aku simpan di lubuk hati, dan mulai beranjak diam tak mengungkitnya kembali.
Kita mesti mengurung asa, atau apapun yang pernah terlintas di benak tentang serentetan peristiwa kebersamaan kita. Menyimpan dan mengunci erat di salah satu sudut paling pojok dalam hati, dan melupakan kuncinya.

Maka mari kita tersenyum.. mari kita tersenyum dan tersenyum setelah perpisahan ini.

Masing-masing kita harus berbahagia pada akhirnya, pasangan jiwaku. Aku memilih berpisah bukan karena telah kehabisan cinta. Aku ingin yang terbaik untukmu, dan aku tidak cukup baik untuk terus mendampingimu walau dari kejauhan.
Ingatlah satu kataku malam itu, bahwa jika nanti pada akhirnya aku bersanding dengan orang lain, bukan berarti rasa sayangku telah habis.


-Maret 22, 2007-

Tampuk rinduku mengujar perih, karena cinta nyatanya bukan sekedar perjuangan hati. Beberapa ranjau telah terlewati.. kadang aku selamat, kadang aku tersangkut dan terjelembab. Seorang yang pintar berkata: “Cinta tidak hanya pikiran dan kenangan, tapi dia dan kamu. Interaksi.” Aku tersadar, tak banyak momen cinta yang dinikmati bersama, cinta ini cuma maskot yang kuagungkan keberadaannya.
Perlahan aku mulai meleleh, hatiku tersayat layar kenyataan. Dia bertahan disana sementara aku demikian tersesat di luasnya kembara langit. Tanpa lagu, apalagi tari.
[22:48:52]

No comments: